Latar belakang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dimulai pada 31 Agustus 1945. Saat itu pemerintah menyerukan bahwa per 1 September 1945 bendera merah putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, pada 19 September 1945 malam, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W. V. C. Ploegman mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah Indonesia Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato.
Keesokan harinya arek Surabaya melihatnya dan menjadi marah. Mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Setelah mengumpulnya massa, arek Surabaya berupaya melakukan perundingan dengan Ploegman diwakili Soedirman yang dikawal Sidik dan Hariyono. Sementara yang lain menunggu di luar hotel.
Sebagai perwakilan RI, Jenderal Soedirman berunding dengan Ploegman meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari Hotel Yamato. Namun Ploegman menolak dan bahkan tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan menjadi panas. Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga. Sementara Sudirman dan Hariyono berhasil melarikan diri.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui perundingan tersebut gagal, langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan ikut menurunkan bendera Belanda bersama Kusno Wibowo, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali.
Setelah insiden di Hotel Yamato, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik dari pihak sipil dan militer Indonesia maupun militer Inggris. Akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata.
Gencatan senjata tersebut gagal dan ditambah dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, berakibat pada dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris. Tetapi, para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan segenap rakyat tidak mengindahkan ancaman itu. Akhirnya terjadilah Pertempuran di Surabaya yang terbesar dan terberat dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia.
Menurut M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993), peristiwa ini setidaknya menewaskan 6.000-16.000 orang dari pihak Indonesia. Sementara dari pihak sekutu yang tewas kira-kira sebanyak 600 hingga 2.000 orang. Perjuangan bangsa Indonesia berhasil membuat Inggris mundur dari peperangan. Satu tahun setelahnya atau tepatnya pada 10 November 1946, Presiden Sukarno menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | FATHUR RACHMAN | BANGKIT ADHI WIGUNA | MOHAMMAD SYARRAFAH | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Gema Resolusi Jihad di Tengah Pertempuran 10 November 1945