TEMPO.CO, Jakarta - Agustus tahun lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 17 Tahun 2022. Isinya tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat masa lalu atau TIM PPHAM. Melalui Keppres ini, pemerintah berupaya mengadakan pemulihan kepada para penyintas HAM.
Tim PPHAM bentukan Jokowi ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapun rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagaimana disebut dalam Pasal 4 yaitu berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.
Lantas siapa saja siapa saja korban pelanggaran HAM yang berhak mendapatkan pemulihan ini?
Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, PPHAM dibentuk karena Komnas HAM kesulitan memproses perkara melalui mekanisme yudisial. Padahal, kata dia, lembaga yang memiliki wewenang menentukan pelanggaran HAM berat hanya Komnas HAM. Penentuan tersebut harus melalui proses penyelidikan dan keputusan sidang pleno. Hal itu disampaikannya dalam rapat perdana Tim PPAM di Surabaya, Ahad, 25 September 2022.
Pada 11 Januari 2023 lalu, Jokowi menyampaikan laporan pelanggaran HAM yang diterimanya dari Tim PPAM. Total terdapat 13 pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui oleh pemerintah. Jokowi juga menyampaikan pihaknya selaku Kepala Negara menyesalkan peristiwa-peristiwa ini. Dirinya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban.
Oleh karena itu, Jokowi dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Adapun ketiga belas pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut, yang berhak mendapatkan pemulihan berdasarkan rekomendasi Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, yaitu korban maupun keluarga korban dari:
1. Peristiwa 1965-1966
2. Peristiwa Penembakan Misterius atau Petrus 1982-1985
3. Peristiwa Talangsari di Lampung 1989
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989
6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
7. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
8. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 pada 1998 dan 1999
9. Peristiwa Ninja atau Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999
11. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002
12. Peristiwa Wamena, di Papua 2003
13. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003.
Setelah menerbitkan Kepres Nomor 17 Tahun 2022, Jokowi juga menerbitkan Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat atau Tim Pemantau PPHAM. Tugasnya, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim PPHAM. Keppres ini diteken Jokowi per 15 Maret 2023 lalu.
Di waktu yang bersamaan, Jokowi juga menerbitkan Instruksi Presiden alias Inpres Nomor 2 Tahun 2023. Isinya tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Dalam Inpres inilah Jokowi mengatur tentang upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.
Namun, adanya Keppres dan Inpres ini juga mendapat perhatian khusus dari Dewan Perwakilan Daerah RI. Dilansir dari laman DPD RI, pada 4 Juli 2023 lalu, Komite I DPD RI mempertanyakan terbitnya Keppres Nomor 17 Tahun 2022, Keppres Nomor 4 Tahun 2023, dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 mengenai penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat itu. Keppres dan inpres ini dinilai menimbulkan perdebatan di masyarakat atas peristiwa masa lalu.
“Kami telah melakukan diskusi intensif antara Pimpinan DPD RI dan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI dalam menyikapi situasi ini. Kami juga telah mengundang para pakar untuk mendapatkan gambaran. Perhatian kami berkaitan peristiwa tahun 1965,” ujar Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono ketika membuka RDP dengan Menkopolhukam, Wakil Jaksa Agung, dan BIN di Nusantara V Komplek Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 4 Juli 2023 lalu.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma juga mempertanyakan seberapa penting presiden mengeluarkan keppres dan inpres tersebut. Menurutnya bagaimana pemerintah akan mengakomodir peristiwa tahun 1965 diselesaikan secara non yuridis.
Filep juga mempertanyakan tidak tuntasnya kasus peristiwa pelanggaran HAM pada 1965. Bahkan, sampai saat ini pelaku peristiwa G30S 1965 tidak terungkap ke publik. “Sebenarnya kami ingin tahu seberapa pentingkah terbitnya keppres dan inpres ini,” katanya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MUTIARA ROUDHATUL JANNAH
Pilihan Editor: Jokowi Keluarkan Keppres No. 17 Tahun 2022 untuk Rehabilitasi dan Bantuan Sosial Korban Pelanggaran HAM, Apa Isinya?