TEMPO.CO, Jakarta - International Non Governmental Organization Forum on Indonesian Development atau INFID menduga Komisi Pemilihan Umum atau KPU di bawah pengaruh parpol lantaran tak kunjung merevisi PKPU sesuai putusan Mahkamah Agung. "KPU kurang mandiri karena mungkin diatur oleh parpol dan DPR," ujar Direktur Eksekutif INFID, Iwan Misthohizzaman, Ahad, 8 Oktober 2023.
KPU, kata dia, tak mungkin mengambil keputusan sendiri. Dia mengatakan keputusan KPU untuk mengirimkan surat edaran kepada parpol, alih-alih merevisi PKPU, merupakan permintaan dari parpol. Publik, kata dia, tidak terlalu polos untuk menganggap KPU mengambil keputusan secara mandiri. "Enggak mungkin KPU mengambil keputusan sendiri," ujar dia.
Hal itu, kata Iwan, dapat dilihat dari statemen politikus PKB yang menyatakan PKPU soal pembulatan ke bawah dalam hal angka pecahan keterwakilan perempuan di belakang koma kurang dari lima merupakan permintaan mereka. Statemen itu, kata dia, mengindikasikan pengaruh parpol dalam pengambilan keputusan KPU. "Ini sudah jelas permintaan partai," ujar dia.
Dia menilai KPU berada dalam posisi mengabulkan permintaan partai yang justru bertentangan dengan undang-undang. Padahal, kata dia, sebagai penyelenggara Pemilu, KPU seharusnya melaksanakan undang-undang. Dia mengatakan KPU sesungguhnya tak memerlukan konsultasi untuk peraturan soal caleg perempuan. "Undang-undangnya sudah jelas," ujar dia.
Undang-Undang Pemilu, kata dia, sudah jelas mengatur proporsi satu dari tiga caleg adalah perempuan dan keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen. Dia menilai KPU tak perlu meminta konsultasi untuk sesuatu yang sudah jelas. "Ketika dilakukan konlultasi untuk undang-undang yang sudah menyebut sangat jelas, itu boleh dipertanyakan," ujar dia.
Sebelumnya, pada 2 Oktober lalu, KPU menggelar rapat konsultasi bersama lima pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Hotel Gran Melia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Rapat itu bertujuan membahas putusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2023 tentang syarat masa jeda bekas terpidana korupsi dan Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 tentang 30 persen keterwakilan perempuan.
Lima pakar hukum itu, yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono; Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta; pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan; pakar hukum tata negara Universitas Negeri Surakarta, Agus Riewanto; pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Oce Madril.
PKPU No. 10 dan PKPU No. 11 menjadi polemik karena dalam aturannya, KPU memperbolehkan mantan narapidana menjadi caleg meskipun belum melewati batas jeda hukuman 5 tahun seperti tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, KPU juga dinilai melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kuota caleg perempuan dalam UU Pemilu. Pasalnya, dalam tata cara perhitungannya, KPU menggunakan pembulatan ke bawah jika terdapat bilangan desimal di bawah 0,5.
Pilihan Editor: KPU Tetapkan DCT Anggota Legislatif Awal November