TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan merupakan salah satu tragedi kelam yang pernah terjadi di kancah persepakbolaan nasional, selain nasional tragedi tersebut bahkan diperingati secara internasional oleh masyarakat sepak bola dunia.
Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan tersebut menewaskan 135 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari beragam usia mulai dari balita hingga orang dewasa.
Kilas Balik Tragedi Kanjuruhan
Tragedi tersebut terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022 pasca pertandingan BRI Liga 1 Indonesia antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Tragedi tersebut diawali dengan para penonton yang turun ke lapangan, dalam merespon hal tersebut aparat menembakkan gas air mata yang menyebabkan penonton panik.
Enam hari berselang setelah Tragedi Kanjuruhan, tepatnya pada Jumat, 7 Oktober 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memaparkan kronologi kejadian tersebut berdasarkan pemeriksaan dan pendalaman yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Kejadian tersebut bermula pada 12 September 2022 ketika Panitia Pelaksana pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya mengirim surat kepada Polres Malang terkait permohonan rekomendasi pertandingan, pihak Polres pun meminta panitia mengubah jadwal pertandingan menjadi pukul 15.30 WIB karena pertimbangan faktor keamanan.
Namun demikian, permintaan tersebut ditolak oleh PT Liga Indonesia Baru atau LIB yang pada saat itu beralasan bahwa masalah penayangan siaran langsung hingga kerugian ekonomi. Laga Arema FC vs Persebaya berjalan sesuai dengan rencana awal yakni pada 20.00 WIB dengan skor akhir 3-2 untuk kemenangan Persebaya Surabaya, setelah pertandingan selesai penonton pun masuk lapangan hingga empat unit barakuda dikerahkan untuk mengamankan ofisial dan para pemain Persebaya.
Sementara itu, di dalam stadion semakin banyak penonton yang masuk ke lapangan, untuk mencegah semakin banyak penonton yang turun ke lapangan, beberapa personel menembak gas air mata. Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata ke tribun Selatan dengan tujuh tembakan, tribun Utara satu tembakan, dan tiga tembakan ke lapangan.
Langkah tersebut membuat penonton yang masih tertahan di dalam stadion merasa panik dan secara berbondong-bondong meninggalkan stadion melalui pintu utama stadion, dari situlah muncul banyak korban yang mengalami patah tulang, trauma, kepala retak, dan sebagian meninggal karena asfiksia. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM menemukan bahwa banyak korban meninggal disebabkan oleh gas air mata kadaluarsa yang ditembakkan oleh polisi.
Selanjutnya: Proses hukum dan respons tokoh nasional