TEMPO.CO, Batam - Konflik Rempang Eco-city terus berlanjut. Saat ini penolakan tidak hanya datang dari warga kampung tua asli yang terdampak relokasi, namun juga dari nelayan di sekitar pulau-pulau kecil di Rempang. Penolakan dari nelayan baru muncul setelah dilaksanakan konsultasi publik Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) oleh BP Batam pada 30 September 2023 lalu di Kantor Camat Galang, Pulau Rempang, Kota Batam.
Nelayan menyadari proyek tahap awal Rempang Eco-city yaitu pabrik kaca dari Cina akan merusak ekosistem laut. "Sebelumnya kami tidak ada dapat sosialisasi dari rencana pembangunan Rempang Eco-city ini, selama ini yang diributkan soal darat saja," kata Dorman salah seorang nelayan Pulau Mubut, yang berada empat kilometer dari Pulau Rempang, Selasa, 3 Oktober 2023.
Undangan konsultasi publik soal Amdal ini, kata Dorman, diterima satu hari menjelang acara. Dari konsultasi itu nelayan mengetahui laut mereka akan terdampak pemabangunan proyek strategis nasional yang disebut Rempang Eco-city itu. "Sosialisasi seperti mendadak gitu," katanya.
Setelah megikuti acara konsultasi publik soal Amdal tersebut, Dorman mengatakan pesisir Pulau Mubut yang masuk dalam Kelurahan Karas terdampak dari pembangunan Rempang Eco-city. Dampak pertama terkait dengan pembangunan pelabuhan bongkar muat yang berada di pesisir Kampung Pasir Merah, Sembulang, Pulau Rempang. Pesisir ini berhadapan langsung dengan Pulau Mubut.
"Inilah, laut di antara pesisir Pasir Merah dan Pulau Mubut ini menjadi lokasi kami memancing," kata Dorman sambil menunjukkan peta pembangunan pabrik kaca yang didapatkan Dorman ketika menghadiri konsultati publik Amdal tersebut.
Dorman mengatakan, perairan lokasi mereka melaut tersebut dalamnya hanya sekitar lima meter. Jika akan dibangun pelabuhan, tentu akan ada pengerukan pasir dan reklamasi. "Otomatis dampaknya pasti kepada kondisi laut, karang rusak, ikan hilang, udang juga akan hilang," kata pria 43 tahun itu.
Padahal, karang itu menjadi tempat pemijahan biota laut. Ketika terumbu karang rusak, maka nelayan akan terancam. "Kami bukan nelayan luar, nelayan asli sini," kata nelayan yang juga merupakan Kelompok Masyarakat Pengawas (Poksmaswas) Sumber Daya Laut Perikanan Wilayah Perairan Pulau Mubut dan sekitarnya.
Nelayan di Pulau Mubut melaut mengunakan alat tangkap bubu, jaring, dan lainnya. Pada sore hari nelayan memasang alat tersebut sepanjang perairan, setelah itu pada pagi hari jaring diambil. "Disini hasil tangkapan udang, rajungan, ikan, yang memasok restoran seafood di Kota Batam," katanya. Dalam satu hari nelayan bisa mendapatkan penghasilan Rp 150- Rp 200 ribu.
Selanjutnya, Terancam Merusak Konservasi Laut...