TEMPO.CO, Lumajang - Komunitas petani Lumajang terdampak jebolnya DAM Gambiran sepakat menolak bantuan Kementerian Pertanian untuk mengatasi kekeringan. Bantuan berupa tiga unit pekerjaan pengeboran air tanah dengan nilai total Rp 450 Juta itu dinilai akan menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Penolakan itu tertuang dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Lumajang. Surat penolakan itu ditandatangani oleh koordinator komunitas ini yakni Firdaus M Lutfi; Ketua Himpunan Petani Pengguna Air (HIPPA) Desa Boreng, Bambang Subakir; Ketua HIPPA Rogotrunan Zainuri dan Ketua HIPPA Blukon. M Arifin.
Terdapat sejumlah poin alasan penolakan bantuan itu antara lain, karena sumur bor tidak akan efektif untuk bisa mencukupi kebutuhan pengairan di seluruh lahan yang mencapai 350 hektare.
Disebutkan juga bantuan tersebut dikhawatirkan akan menciptakan kecemburuan sosial di antara petani. Selain itu, akan terdampak terhadap makin keringnya sumur warga selain juga akan memakan biaya operasional yang sangat tinggi.
Dalam surat itu, juga disebutkan ihwal kesulitan dalam pembagian dan pendistribusian air secara merata kepada semua lahan petani. Petani hanya membutuhkan pembangunan DAM Gambiran secara permanen.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, surat penolakan tersebut sudah diserahkan langsung oleh perwakilan komunitas petani terdampak kepada DKPP pada Senin kemarin, 2 Oktober 2023.
Koordinator komunitas ini, Firdaus M Lutfi membenarkan ihwal penolakan itu. "Kami memang menolak bantuan itu. Tapi tidak berarti menghilangkan apresiasi kami terhadap niat baik Kementerian Pertanian itu," kata Lutfi kepada Tempo, Selasa, 3 Oktober 2023.
Seperti diberitakan sebelumnya, sekitar lebih dari 350 hektare lahan pertanian di Desa Boreng, Desa Blukon dan Kelurahan Rogotrunan merupakan areal terdampak jebolnya DAM Gambiran. Ratusan hektare lahan tersebut mengalami kekeringan lantaran daerah irigasi Bireng tidak mendapatkan air dari DAM Boreng. Persoalan ini sudah terjadi bertahun-tahun dan belum terselesaikan secara tuntas.
Pemerintah Kabupaten Lumajang dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur 'angkat tangan' ihwal tuntutan warga yang meminta pembangunan DAM permanen yang membutuhkan dana kurang lebih Rp 9 Miliar itu.
Persoalan yang dihadapi petani ini didengar oleh Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Irigasi hingga kemudian mengirim utusannya untuk melakukan monitoring dan assesment. Kefas, utusan dari kementerian yang dikirim pada pekan kemarin itupun langsung bekerja dan memantau kondisi lapangan secara langsung serta menyerap informasi dan kegelisahan masyarakat.
Hanya dua hari berselang dari kedatangan utusan itu, Kementerian Pertanian langsung memutuskan untuk memberikan bantuan berupa pengeboran air tanah. Informasi yang diperoleh Tempo dari kelompok tani menyebutkan hasil komunikasi dengan utusan Kementerian, petani akan dibantu kegiatan irigasi air tanah dangkal sebanyak tiga unit, berupa anggaran Rp 150 Juta per unit. Total berarti senilai Rp 450 Juta.
Bantuan tersebut meliputi sejumlah komponen kegiatan antara lain seperti, survei geolistrik, penyusunan desain dan rencana anggaran biaya (RAB), pengeboran, pembuatan rumah pompa, instalasi listrik, pembuatan jalur distribusi air, pembelian pompa submersible.
Pekerjaan dilakukan secara swakelola oleh kelompok tani. Untuk survei geolistrik dan penyusunan desain RAB menggunakan tenaga konsultan yang dibayar oleh Poktan dari anggaran Rp 150 Juta. Untuk biaya geolistrik berkisar kurang lebih Rp 4 Juta.
Pihak Kementerian Pertanian belum bisa dikonfirmasi ihwal penolakan bantuan itu.
DAVID PRIYASIDHARTA
Pilihan Editor: Hujan Buatan untuk Atasi Kekeringan, BPBD DKI Sebut Perlu Kerja Sama dengan 4 Instansi