TEMPO.CO, Surabaya - Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK) menilai negara belum maksimal alam menuntaskan kasus tragedi Kanjuruhan. Padahal, menurut gabungan berbagai organisasi, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Surabaya, LBH Pos Malang, KontraS, ICJR, Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan (TATAK), serta Lembaga Penyuluh Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) itu, peristiwa pada 1 Oktober 2022 tersebut menjadi catatan kelam Hak Asasi Manusia dan persepakbolaan di Indonesia.
Tragedi itu menegaskan bahwa negara abai terhadap tanggungjawabnya untuk menyelesaikan kasus secara adil dan bermartabat serta tetap melanggengkan impunitas. Sebab sebanyak 135 korban meninggal dunia serta ratusan orang lainnya luka-luka hingga saat ini belum mendapatkan keadilan sepenuhnya.
“Kami menilai bahwa penjatuhan vonis hukuman yang ringan terhadap lima terdakwa tragedi Kanjuruhan secara jelas jauh dari harapan keadilan bagi keluarga korban, dimana vonis tersebut rata-rata kurang dari 2 tahun,” demikian bunyi pernyataan sikap JSKK yang diterima Tempo, Ahad, 1 Oktober 2023.
Di tengah belum didapatkannya rasa keadilan secara menyeluruh bagi keluarga korban tragedi Kanjuruhan, kata JSKK, pemerintah justru lebih fokus pada upaya renovasi Stadion Kanjuruhan. Upaya renovasi Stadion Kanjuruhan pada faktanya tidak sejalan lurus dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan.
“Alih-alih negara menegakkan hukum secara berkeadilan, sampai sekarang proses pengadilan yang sesat justru memperkuat impunitas dan belum dilakukannya penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat pada peristiwa Kanjuruhan,” kata JSKK.
JSKK mengimbuhkan setidaknya pada November 2022 dan April 2023 keluarga korban beserta beberapa perwakilan organisasi masyarakat sipil telah melakukan pelaporan ke Bareskrim Polri namun ditolak dengan alasan tidak kuatnya bukti yang diajukan.
Selain pelaporan di Jakarta, keluarga korban, yakni Devi Athok Yulfitri dan Rizal Putra Pratama, telah melaporkan peristiwa Kanjuruhan ke Polres Malang atas adanya dugaan tindak pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Pasal 340 KUHP pada November 2022 lalu.
“Tetapi hingga saat ini, laporan tersebut masih dalam proses penyelidikan dan berakhir dengan penghentian penyelidikan (SP3) karena tidak memenuhi unsur pelaporan pada 7 September 2023 lalu,” tutur JSKK.
JSKK menilai Komnas HAM sebagai representasi negara belum cukup hadir untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban. Selama kurun waktu satu tahun kebelakang JSKK melihat Komnas HAM tidak serius sejak dari awal dalam menangani dugaan penyelidikan pelanggaran HAM berat atas Tragedi Kanjuruhan.
Hal tersebut turut juga diperkuat dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM terkait dengan Tragedi Kanjuruhan yang menyatakan bahwa tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa itu.
Untuk itu JSKK meminta Presiden Republik Indonesia untuk dapat memastikan tragedi Kanjuruhan diungkap secara tuntas dengan tidak hanya menyentuh aktor lapangan saja, tetapi juga dapat menyeret aktor komando serta petinggi korporasi.
JSKK juga meminta Kapolri untuk dapat memerintahkan Kabareskrim memulai pengembangan proses penyelidikan dan penyidikan atas tragedi Kanjuruhan serta memerintahkan jajarannya untuk dapat membongkar peristiwa ini dengan tuntas dan berkeadilan.
Terhadap Komnas HAM, JSKK berharap mengkaji, mendalami dan penyelidikan pro-yustisia tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat menggunakan mekanisme penyelidikan sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Kami juga meminta Menpora dan PSSI segera menetapkan 1 Oktober sebagai hari duka sepak bola nasional,” demikian bunyi akhir pernyataan sikap JSKK.
Pilihan Editor: Teriak Histeris Pecah di Saat Doa Bersama Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tengah Berlangsung