TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, menulis surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Surat itu berisikan tentang kekecewaannya terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia.
"Surat terbuka ini saya tulis karena keprihatinan terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia. Terdapat pasal-pasal karet yang bersifat multi interpretasi sehingga penegakan hukum disalahartikan yang mengakibatkan kerugian bisnis di BUMN dapat dijadikan dasar oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai tindak pidana korupsi," kata Karen mengawali surat terbuka yang diterima Tempo, Senin 25 September 2023.
Dalam surat itu, Karen mengaku kaget setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 8 Juni 2022 dan kemudian ditahan pada 19 September 2023. Karena menyatakan dirinya dijadikan tersangka karena menandatangani kontrak pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) dari Sabine Pass dan Corpus Christi Liquefaction (CCL) yang dilakukan oleh Pertamina pada tahun 2013 dan 2014.
Kontrak itu mengatur soal pengiriman LNG pada 2019 hingga 2040. Padahal, menurut dia, kedua kontrak tersebut telah dibatalkan dengan perjanjian baru yang ditandatangani pada 20 Maret 2015.
"Pada saat itu saya sudah tidak menjabat lagi sebagai Direktur Utama Pertamina, karena terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2014 saya sudah resmi mengundurkan diri," kata Karen.
Bantah klaim KPK jika Pertamina merugi
Karen pun mempertanyakan jika kontrak itu dinilai KPK merugikan Pertamina hingga 140 juta dolar Amerika atau sekitar Rp 2,2 triliun. Pasalnya, menurut dia, pada 2019 Pertamina untung sebesar 2,2 juta dolar Amerika dari penjualan LNG tersebut. Soal kerugian Pertamina pada 2021-2022, Karen menyatakan hal itu tak lepas dari pandemi Covid-19 yang membuat harga pasaran LNG anjlok.
Akan tetapi, menurut Karen, Pertamina kembali untung dengan berakhirnya masa pandemi plus krisis pasokan gas di Eropa akibat perang Rusia dan Ukraina. Kedua hal itu, menurut dia, menyebabkan harga LNG naik tiga sampai lima kali lipat dari harga dalam kontrak Pertamina.
"Sehingga Pertamina kini justru membukukan keuntungan sekitar 91,5 juta dolar Amerika," kata dia.
Selain itu, Karen menyatakan bahwa Pertamina kini telah mengantongi kontrak penjualan LNG tersebut hingga 2025. Bahkan, perusahaan minyak plat merah itu tengah melakukan penjualan untuk periode 2026-2030 dengan harga jual di atas harga pembelian. Karena itu, dia menilai kontrak jangka panjang itu merupakan harta karun yang tak disadari oleh aparat hukum negara.
Selanjutnya, Pertamina disebut bisa rugi besar karena pengusutan kasus ini