TEMPO.CO, Jakarta - Merujuk unand.ac.id, konflik agraria merupakan konflik yang berhubungan dengan tanah. Konflik ini lahir timbul sebagai dampak kesenjangan sumber-sumber agraria yang berupa Sumber Daya Alam (SDA).
Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA menyatakan terdapat 73 konflik agraria yang terjadi dalam delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo atai Jokowi akibat proyek strategis nasional (PSN).
"KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Ahad, 24 September 2023.
Umumnya, konflik ini melibatkan banyak pihak dan banyak peraturan sehingga menjadi kompleks dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut beberapa konflik agraria yang terjadi di Indonesia, yaitu:
Dayak Seruyan (2012)
Banyak perusahaan perkebunan di Kabupaten Seruyan membuka lahan melebihi izin resmi yang masyarakat Dayak setempat terima sehingga terjadi konflik masyarakat dan perusahaan. Pada konflik lahan dengan PT Best Agro Internasional ini, sudah ada 12 warga Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka terkait perusakan lahan yang diklaim milik perusahaan.
Padahal, masyarakat hanya mengolah lahan tanah ulayat dan tidak masuk lahan perusahaan. Meskipun sudah beberapa kali melakukan demonstrasi, tetapi masyarakat Dayak Seruyan tidak pernah menerima penyelesaian.
Kinipan (2018)
Konflik agraria di Kinipan, Kalimantan Tengah terjadi ketika PT Sawit Mandiri Lestari ingin membuka hutan dengan menebang banyak pohon ulin. Dari situ, terjadi konflik PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) dengan warga Kinipan. Menyikapi konflik tersebut, Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong menawarkan solusi langsung di Kipnan.
Solusi yang coba ditawarkan kepada pihak berselisih adalah dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat Desa Kinipan terlebih dahulu. Jika ingin dijadikan hutan adat, maka ada prosedurnya. Namun, harus didengar juga masyarakat yang menginginkan kebun plasma dari PBS yang menerima izin, seperti dikutip menlhk.go.id.
Air Bengis (2023)
Warga Desa Air Bangis menolak pembangunan kawasan industri kilang minyak kelapa sawit seluas 30 ribu hektare di Teluk Tapang. Namun, sebagian lahan merupakan area penggunaan lain yang sudah digunakan untuk perkebunan dan dihuni 45 ribu warga sejak 1970-an. Bagian dari proyek strategis nasional itu pun akan menggusur rumah penduduk dengan alasan lahan yang ditempati masyarakat setempat milik negara.
Akibatnya, pada 31 Juli 2023, warga melakukan demonstrasi di Kantor Gubernur Sumatera Barat. Menyikapi hal ini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat, Wengki Purwanto menyatakan, jika masyarakat telah memiliki memiliki hak kekuasaan hutan tersebut yang dipegang oleh Pemangku Adat. Masyarakat Nagari Air Bangis, menurut dia, telah hidup di sana sejak sebelum Indonesia merdeka
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan akar konflik di Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, karena klaim negara secara sepihak atas tanah ulayat masyarakat. Konflik ini muncul setelah pemerintah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa pembangunan kilang minyak dan petrokimia di sana.
Pulau Rempang (2023)
Konflik agraria di Pulau Rempang terjadi karena sistem pengelolaan tanah di Batam berbeda dari wilayah di Indonesia lain. Merujuk Koran Tempo, konflik bermula karena hadirnya Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) sebagai Otorita Batam menjadi pemegang hak pengelolaan seluruh tanah di wilayah tersebut.
Pada laporan Majalah Tempo, upaya pengosongan Pulau Rempang untuk proyek Rempang Eco City. Namun, warga setempat menolaknya sehingga aksi unjuk rasa berujung ricuh pun tak dapat dihindari.
Lampung Tengah (2023)
Konflik agraria ini terjadi karena penolakan warga terhadap eksekusi lahan oleh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA). Bentrokan antara aparat dan masyarakat akibat sengketa lahan ini pun sempat terjadi di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah. Menanggapi hal tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Tengah, Ahmad Wagimin meminta persoalan pengolahan lahan PT BSA dan masyarakat berlangsung damai.
Menurut Antaranews, ia berharap kelompok kerja forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) Lampung Tengah mengedepankan dialog demi menyerap aspirasi masyarakat dan mengembangkan pembangunan merata dengan kehadiran perusahaan pengelola.
RACHEL FARAHDIBA R I SDA | TIM TEMPO.CO
Pilihan Editor: Tengok Proyek Strategis Nasional 2023-2024 Menjelang Akhir Jabatan Jokowi