Saliza, warga lainnya, mempermasalahkan lahannya yang berada di tepi pantai. Dia menyatakan lahannya itu tidak dilakukan pengukuran oleh pihak BP Batam.
"Kemarin saya dilakukan pengukura, tetapi lahan saya di pantai tidak diukur bapak, katanya tak aci (sah). Padahal itu sudah ratusan tahun pak milik kami, pasir pantainya juga bersih juga bapak, mohon penjelasannya," kata Saliza.
Jawaban Kepala BP Batam
Mendapatkan rentetan pertanyaan, Muhammad Rudi kemudian menyatakan memahami kesulitan warga di sana untuk menjalani relokasi. Menurut dia, semua orang pasti akan berat untuk meninggalkan kampung halamannya.
Dia pun menyatakan bahwa kewenangannya dalam hal ini terbatas sehingga tak bisa menyelesaikan seluruh masalah itu satu persatu. Dia mencontohkan soal lahan di tepi pantai. Menurut Rudi, hal itu bukan kewenangannya.
"Kalau tadi ada yang bilang lahan dipantai tidak diukur, itu bukan kewenangan kita, tetapi pantai itu kewenangan lembaga lain," kata Rudi.
Demikian juga dengan lahan masyarakat yang terletak di HPK. Menurutnya, persoalan lahan di HPK juga bukan kewenangan Rudi.
"Kalau saya ambil keputusan (soal HPK) itu beresiko kepada saya," kata dia.
BP Batam sebelumnya memberikan tenggat waktu hingga 28 September 2023 bagi warga untuk mengosongkan Pulau Rempang. Kawasan itu akan dibangun Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Proyek ini akan digarap oleh PT Mega Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha Grup milik Tomy Winata.