TEMPO.CO, Jakarta - Bentrok antara aparat dan warga terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pada Pada 7 September 2023. Kericuhan ini dipicu oleh upaya relokasi sepihak Badan Pengusahaan Batam terhadap 16 kampung tua di sana. Relokasi dilakukan karena Pulau Rempang ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional, yakni Eco-City.
Bentrokan itu terjadi ketika aparat gabungan memaksa masuk untuk melakukan pengukuran dan pemasangan patok tapal batas. Bentrokan lanjutan terjadi pada 11 September ketika warga menggelar demonstrasi di kantor BP Batam.
Menanggapi kekerasan yang terjadi kepada warga di Pulau Rempang, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ikut angkat bicara. Lantas, bagaimana pernyataan dan sikap dua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut?
Nahdlatul Ulama: Kesentosaan Masyarakat Nomor Satu
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil, mengatakan kesentosaan masyarakat adalah nomor satu, sedangkan risiko-risiko investasi itu adalah hitungan kemudian.
“Pada dasarnya pandangan kami begini, bahwa walaupun ada wawasan bahwa investasi dibutuhkan oleh negara, investasi itu harus sungguh-sungguh dijadikan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya masyarakat di lingkungan yang menjadi destinasi investasi itu sendiri. Seperti kasus Rempang ini kan urusannya ada investasi yang ditempatkan di sana dan timbul masalah dengan masyarakat di lingkungan setempat,” ujar pria yang kerap disapa Gus Yahya dalam konferensi pers mengenai isu-isu mutakhir di kantor PBNU, Jakarta Pada Jumat, 15 September 2023.
Menurut Gus Yahya, investasi juga harus dikembalikan ke tujuan asalnya, yakni kemaslahatan masyarakat dan peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di lingkungan destinasi dari investasi itu sendiri. Masyarakat, menurutnya, tak boleh menjadi korban. “Apa pun juga, kesentosaan dari masyarakat itu nomor satu, risiko-risiko investasi itu hitungan terkemudian,” katanya.
Muhammadiyah: Pemerintah Gagal Laksanakan Mandat Konstitusi
Pengurus Pusat Muhammadiyah menuding pemerintahan Presiden Jokowi gagal melaksanakan mandat konstitusi dengan menggusur masyarakat yang telah berada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya menyebutkan bahwa masyarakat telah menempati pulau itu sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Karena itu, mereka mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut belum pernah digarap.
"Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut," tulis keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 13 September 2023.
Mereka pun menyinggung soal frasa dalam UUD 1945 yang menyatakan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka menyebut penggusuran tersebut jelas menunjukkan pemerintahan Presiden Jokowi gagal menjalankan mandat dari konstitusi tersebut.
"Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," ucap mereka.
Pilihan Editor: Kunjungi Rempang, Ini Sejumlah Temuan dan Permintaan Komnas HAM