TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini merebak wacana kontestasi Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon atau Paslon. Partai Keadilan Sejahtera atau PKS beranggapan wacana tersebut berbahaya. Sekjen PKS Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan Pilpres dengan hanya dua Paslon alias head to head dapat menimbulkan polarisasi politik.
“Jangan dua, tiga aja sudahlah. Supaya tidak terjadi polarisasi yang tajam dan keras, dan panas. Kita telah belajar dari Pemilu 2019, dan menurut saya tidak boleh terulang kembali di 2024,” kata Aboe Bakar dalam Forum Diskusi Pemilu yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Rabu, 13 September 2023
Apa itu polarisasi politik di Pemilu 2019?
Dinukil dari publikasi Opini Publik dalam Polarisasi Politik di Media Sosial, polarisasi politik terjadi ketika masyarakat terbelah dalam preferensi politik yang berbeda. Perbedaan pilihan adalah hal yang wajar. Tetapi dalam konteks polarisasi politik, preferensi ini diikuti dengan anggapan perasaan yang paling benar. Di sisi lain, mereka juga beranggapan bahwa kelompok yang berseberangan memiliki paham yang salah.
Salah satu penyebab terjadinya polarisasi politik adalah suburnya politik identitas. Yaitu politik yang merangkul suatu identitas sebagai bagian dari ideologi politik atau partai. Orang-orang yang merasa memiliki identitas yang sama kemudian melabuhkan preferensi politiknya kepada partai tersebut. Ideologi yang dibawa dari identitas ini bisa berdampak negatif apabila dibarengi dengan sikap fanatik.
Fanatisme identik dengan sikap intoleransi. Mereka yang merasa paling benar beranggapan bahwa preferensi politik yang tak sepaham merupakan sesuatu yang menyimpang. Fenomena ini muncul pada Pilpres 2019 dengan kontestan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.
Menukil studi Introduction: The 2018 and 2019 Indonesian Elections–Identity Politics and Regional Perspectives dalam jurnal The 2018 and 2019 Indonesian Elections, Pemilu 2019 merupakan potret kemunduran demokrasi Indonesia.
Politik identitas dijadikan strategi yang masif oleh kontestan politik merebut suara pemilih. Kondisi ini menciptakan polarisasi politik yang tajam. Efeknya bahkan masih berdampak hingga sekarang.
Dikutip dari publikasi Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia, perpecahan ini gara-gara yang satu menggandeng kelompok nasionalis, yang lain mengumpulkan kelompok Islam.
Politik identitas ini menimbulkan dua kelompok pendukung yang fanatik. Masih ingat istilah “cebong” dan “kampret”? Istilah cebong ditujukan kepada pendukung Jokowi. Sedangkan julukan kampret merujuk kepada pendukung Prabowo Subianto. Penamaan untuk dua kelompok ini merupakan bukti nyata polarisasi politik Pilpres 2019. Beberapa tahun paska-Pilpres, julukan ini masih muncul saat terjadi peristiwa politik yang sentimental.
Pilpres 2024 menjadi pekerjaan rumah atau PR bagi masyarakat Indonesia. Tak hanya kepada kontestan politik, tapi juga rakyat pemilih. Belakangan narasi anti polarisasi politik terus digaungkan. Salah satu solusinya adalah menghadirkan lebih dari dua pasangan calon. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Baginya itu bisa mencegah perselisihan yang sangat tajam.
“Mestinya jangan dua pasangan calon dibentuk. Dibangunlah tiga sampai empat poros agar ada pemecah gelombang,” kata Ujang saat dihubungi, Rabu, 29 Juni 2023 ihwal Pilpres 2024.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MUHAMMAD SYAIFULLOH | M. FAIZ ZAKI
Pilihan editor: Sikap Menghadapi Pilpres 2024, PKS akan Gelar Musyawarah Majelis Syuro Pekan Ini