TEMPO.CO, Jakarta - Memperingati tragedi Tanjung Priok 1984 pada Selasa, 12 September 2023, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan sudah 39 tahun peristiwa ini berlalu dan masih menjadi luka bagi korban yang belum mendapatkan keadilan. Menurut dia, para korban belum melihat kesungguhan pemerintahan Jokowi dalam menegakkan hukum atas kasus yang tergolong pelanggaran HAM berat tersebut. "Apalagi kasus itu juga tidak masuk dalam daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui dan disesalkan oleh Presiden Jokowi," kata Usman dalam rilisnya, Selasa, 12 September 2023.
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, tragedi Rumah Geudong di Aceh tahun 1989, penghilangan orang paksa di tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998. Namun, dari 12 kasus itu, tidak ada tragedi Tanjung Priok.
Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984, merupakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru. Dokumen yang diterbitkan oleh Amnesty International pada tahun 1985, berjudul: "Statement of Amnesty International's Concerns in Indonesia".
Dokumen tersebut mengungkapkan pasukan keamanan tengah menembaki kerumunan umat muslim yang saat itu sedang menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara. Mereka sedang menuntut pembebasan terhadap empat orang yang ditangkap.
Akibat insiden tersebut, diperkirakan 30 orang ditembak dan tewas. Juga lebih dari 200 orang ditangkap. Mereka ada yang dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti, dan menyebarkan kabar bohong seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa lainnya kena tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan "Undang-undang Anti Subversi." Menurut temuan Komnas HAM, setidaknya 79 orang menjadi korban, dengan 55 orang terluka dan 23 lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif negara. Selain itu, banyak orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa di antaranya hilang.
Usman mengatakan kasus tragedi Tanjung Priok pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya. Tetapi para terdakwa lalu mengajukan banding, saat tahun 2005 Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan para terdakwa. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun pada 2006 Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa guna membatalkan putusan bebas itu, dengan alasan kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM, dituding korban bersenjata, serta kasus tersebut harus diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc. Putusan bebas itu juga mencabut kewajiban negara dalam memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi.
Jaksa dinilai gagal dalam mengungkapkan peran pihak yang merencanakan, penundaan dalam menyusun surat dakwaan, serta tidak memberikan perlindungan memadai kepada saksi dan korban. Di luar proses pengadilan, terdakwa bahkan menyuap korban dan saksi, akibatnya banyak dari mereka menarik kesaksian dan mencabut pernyataan mereka.
“Negara juga patut menyediakan ganti rugi yang pantas bagi keluarga korban yang selama ini menderita akibat tragedi ini, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Negara melalui DPR juga perlu segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) agar kejahatan kemanusiaan seperti tragedi Tanjung Priok tidak lagi terjadi,” ujar Usman.
Pilihan Editor: Mahfud Md Menyebut Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Segera Bertugas