TEMPO.CO, Jakarta - Pulau Rempang mengalami situasi mencekam usai aparat gabungan TNI dan Polri masih terus merangsek masuk ke perkampungan warga di wilayah yang ada di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau itu hingga Kamis malam, 7 September 2023. Aparat dengan 60 armada terus memaksa masuk wilayah Rempang.
Kedatangan aparat gabungan ke Pulau Rempang adalah untuk memasang pasok tata batas lahan Rempang Eco-City. Ini adalah proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata.
Pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare itu bakal digarap PT Makmur Elok Graha. Proyek ini ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan itu melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Aparat kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja hingga pengamanan BP Batam pun mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.
Aparat merangsek masuk wilayah Rempang hingga konflik dengan masyarakat adat
Pulau Rempang erat dengan keberadaan masyarakat adat yang hingga hari ini berusaha mempertahankan ruang hidup mereka. Masyarakat adat tentu menolak kehadiran aparat dengan memblokir jalan menggunakan blok kontainer hingga melakukan penebangan pohon.
Hal tersebut membuat aparat kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja hingga pengamanan BP Batam pun mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.
Aksi aparat tak berhenti sampai di situ. Mereka terus merangsek masuk wilayah Rempang, memukul mundur para warga lewat gas air mata. Bahkan, semburan gas air mata tersebut telah sampai hingga ke sekolah.
Akibatnya, beberapa siswa dikabarkan mengalami luka-luka. Padahal, para guru di SD tersebut sudah meminta agar gas air mata tidak ditembakan ke arah sekolah.
Suasana mencekam Pulau Rempang juga beredar di media sosial. Dalam sebuah video, terlihat salah satu sekolah di Rempang dipenuhi asap. Beberapa guru juga tampak berlarian membawa beberapa murid untuk pergi melalui pintu belakang sekolah.
Hingga saat ini suasana di Pulau Rempang masih mencekam, bahkan para warga sampai saat ini masih bersiaga di beberapa lokasi.
Masyarakat Sipil wilayah Rempang menilai tindak kekerasan aparat membuat masyarakat adat menjadi korban ambisi pembangunan nasional. Berdasarkan pantauan Koalisi Masyarakat Sipil, bentrokan antara masyarakat adat dengan aparat terjadi pada pagi tadi sekitar pukul 10.00 WIB.
Aparat gabungan (TNI, Polri, dan Satpol PP) menggunakan kendaraan taktis dan berupaya masuk ke Pulau Rempang secara paksa. Aparat memaksa masuk guna melakukan pemasangan patok tanda batas dan cipta kondisi.
Masyarakat adat sebenarnya telah berkumpul di titik masuk Pulau Rempang, tepatnya di Jembatan 4 Barelang. Namun, para aparat justru menangkap warga yang mencoba menghalangi langkah mereka. Terdapat 6 orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata yang dilepaskan aparat.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto meminta pemerintah dan DPR membentuk tim independen untuk mengusut bentrokan tersebut.
Sebelumnya, warga juga telah mengecam tindakan aparat di Pulau Rempang. Mereka meminta aparat menghentikan tindakan kekerasan kepada masyarakat Pulau Rempang dan meminta proses pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco City dihentikan.
Pulau Rempang jadi Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023
Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City.
Rempang Eco City memiliki nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080. Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, mengatakan, masuknya pembangunan Rempang sebagai PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Lebih lanjut, Ariastuty mengatakan pengembangan Pulau Rempang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Ariastuty menerangkan bahwa pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) tengah merencanakan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata. Proyek tersebut diharapkan mampu mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Malaysia dan Singapura.
Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.
Masyarakat adat menolak PSN Rempang Eco City
Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dengan tegas menolak wilayah tersebut direlokasi.
Beberapa warga yang vokal menolak relokasi, termasuk Gerisman Ahmad dilaporkan ke polisi. Mereka dituduh melakukan berbagai macam kejahatan. Mulai dari pidana pungutan liar pantai, merusak terumbu karang, hingga membabat hutan.
Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Edy Kurniawan mengatakan, upaya pemanggilan warga Rempang yang menolak relokasi oleh Polda Kepri adalah upaya intimidasi dan kriminalisasi. Padahal, modus seperti ini sering terjadi dalam proses pembangunan proyek skala besar di Indonesia. Mulai dari penguasaan lahan dalam kawasan hutan, menggunakan pasal palsu, hingga penyalahgunaan tata ruang dan korupsi.
Kapolda Kepulauan Riau Irjen Tabana Bangun mengatakan, polisi telah melakukan pendekatan humanis dalam proses relokasi Pulau Rempang tersebut. Dirinya pun mengatakan tindakan yang dilakukan anak buahnya sudah tepat pasalnya sebelumnya sudah dilakukan sosialiasi kepada warga.
MUTIARA ROUDHATUL JANNAH | TIM TEMPO.CO
Pilihan Editor: Pulau Rempang Mencekam, Kapolda Kepri Klaim Sudah Humanis