TEMPO.CO, Jakarta - Terpidana pelanggar peraturan daerah (qanun) hukum syariat islam menjalani hukuman cambuk di Banda Aceh, Pada Senin, 4 September 2023. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menjatuhkan hukuman sebanyak 27 kali cambuk setelah dipotong masa tahanan terhadap dua terpidana pelanggar qanun syariat islam nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayah. Lantas apa itu Qanun?
Dikutip dari business-law.binus.ac.id, nama qanun berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Ibrani yang bermakna serupa, yaitu norma hukum, legislasi, atau undang-undang. Sementara itu, tingkatan Qanun tertinggi di suatu negara biasanya disebut “al-qanun al-asasi”.
Di Aceh sendiri, berdasarkan pasal 1 butir 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Begitu juga dengan Pasal 1 butir 22 dari undang-undang tersebut yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota Aceh.
Kendati demikian, Qanun tidak boleh dianggap lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Termasuk materi di dalam qanun pun tidak boleh melampaui materi yang seharusnya dimuat di dalam peraturan daerah.
Disamping itu, merujuk Jurnal "Qanun sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam", istilah Qanun sudah digunakan dalam bahasa atau budaya Melayu. Kata ini tertulis dalam Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas Masehi. Kala itu, qanun digunakan untuk membedakan antara hukum adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih.
Salah satunya naskah Qanun Syara’ Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada 1257 Hijriah, atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syah. Qanun ini berisi berbagai hal di bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan peradilan, fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.
Disebutkan juga, Qanun yang merupakan otonomi khusus Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sementara itu, Peraturan Daerah yang disebut qanun ini dijadikan payung hukum berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Dilansir dari publikasi "Implementasi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh", Qanun Jinayat diberlakukan bagi setiap masyarakat Aceh baik beragama islam maupun non islam. Hal ini disusun berdasarkan landasan nilai dan norma syariat islam yang merujuk Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Sebelumnya, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 27 September 2014. Kemudian dimasukkan dalam lembaran daerah pada 23 Oktober 2014 setelah ditandatangani Gubernur Aceh.
Qanun ini mengatur tentang Jarimah yaitu tindakan yang dilarang dalam syariat islam. Misalnya, Minuman keras, judi, mesum, berciuman dan bermesraan, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, gay, lesbian dan menuduh orang melakukan zina.
Umumnya, Qanun memberlakukan kebijakan hukum cambuk sebagai keseriusan pemerintahan daerah dan masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat islam secara utuh. Kemudian bertujuan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat Aceh dalam bingkai syariat islam. Sekaligus sebagai alat untuk menekan angka pelanggaran syariat islam.
Selain itu, qanun jinayat merupakan pemberian sanksi berupa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam. Dengan ini akan memberi efek jera agar tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan dalam islam.
Berbeda dengan perda umumnya, Qanun berlandaskan pada asas keislaman atau tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Namun, dalam hal hirarki hukum di Indonesia, menyesuaikan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda daerah lainnya.
Pilihan Editor: Begini Qanun Jinayat di Aceh Mengatur Hukuman Pelaku Pelecehan Seksual, Pemerkosaan dan Peminum Alkohol