TEMPO.CO, Jakarta - Syarat batas usia Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK digugat oleh Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid. Permohonan judicial review itu dilakukan terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ke Mahkamah Konstitusi RI.
Dalam pokok permohonannya, Fahri memprotes perubahan syarat minimal usia untuk menjadi Hakim MK yang sudah terjadi dua kali. Perubahan tersebut, kata dia, selalu dilakukan tanpa alasan dan penjelasan yang jelas serta mendasar secara akademik dan reasonable.
"Perubahan yang terus terjadi tentunya menciptakan ketidakkepastian hukum yang adil bagi saya, dimana semakin jauh dan semakin lama untuk dapat menjadi hakim Konstitusi serta tidak ada kepastian hukum karena cenderung sering terjadi perubahan-perubahan," kata Fahri dalam keterangannya kepada Tempo, Jumat, 25 Agustus 2023.
Gugatan yang terdaftar dengan Nomor 81/PUU-XXI/2023 mulai disidangkan pada Kamis, 24 agustus 2023 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan para penggugat. Majelis Hakim MK yang mengadili gugatan ini, antara lain Saldi Isra sebagai Ketua Majelis Hakim, lalu Manahan M.P. Sitompul dan Guntur Hamzah sebagai anggota
Dalam persidangan tersebut Fahri membeberkan beberapa perubahan syarat minimal usia untuk menjadi Hakim Konstitusi yang menjadi dasar gugatannya. Seperti i dalam UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (1) huruf c Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan.
Aturan itu kemudian direvisi menjadi UU No. 8 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) huruf d yang menyatakan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1): berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan.
Lalu perubahan terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2020 Pasal 15 ayat (2) huruf d, yang menyatakan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat berusia paling rendah 55 tahun.
Lebih lanjut, Fahri menyebut saat ini UU 7/2020 juga sedang dalam proses perubahan kembali untuk syarat minimal usia mencalonkan sebagai Hakim Konstitusi. Dalam rancangan perubahan yang diketahuinya, syarat minimal usia dari 55 tahun berpotensi diubah dan dinaikan menjadi 60 tahun. Menurut Fahri, perubahan batas usia selalu terjadi dengan alasan yang tidak jelas.
"Dalam batas penalaran yang wajar, suatu ketika saya menjadi Hakim Konstitusi tentunya akan mengalami keadaan yang sama, yakni mendapatkan ketidakpastian hukum atas perubahan-perubahan usia minimal menjadi Hakim Konstitusi ataupun usia maksimal menjadi Hakim Konstitusi," kata Fahri.
Fahri kemudian mengutip pendapat Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 pada bagian Concurring Opinion yang menyebut "ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang yang seringkali mengubah persyaratan usia minimum ataupun maksimum bagi pejabat publik yang telah diatur di dalam undang-undang tanpa memiliki landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas."
Kutipan tersebut berlanjut "hal itu mengakibatkan potensi terjadinya ketidakpastian hukum bagi pejabat publik yang terkait, baik yang berkenaan dengan masa jabatannya ataupun yang berkenaan dengan kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya. Ketidakpastian hukum ini kemudian dapat juga berimbas pada terganggunya kinerja pejabat negara yang bersangkutan, bahkan juga terhadap kinerja lembaga negara ataupun institusi yang dipimpinnya".
Menurut Fahri pengaturan syarat usia minimum ataupun maksimum dalam UU 7/2020 harus ditetapkan menjadi syarat yang tetap dan tidak berubah-ubah atau setidaknya memerlukan landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas untuk mengubahnya. Sebab jika perubahan terus terjadi tanpa alasan yang jelas, maka kewenangan pembentuk undang-undang dapat dicampuri urusan kepentingan politik.
"Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensi serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya," kata Fahri.
M JULNIS FIRMANSYAH
Pilihan Editor: Sidang Batas Usia Cawapres di MK, Tim Presiden Tak Hadirkan Saksi Ahli