TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga korban tragedi Kanjuruhan dan Aremania pendukung Klub Arema FC mengaku belum puas dengan putusan Mahkamah Agung terhadap dua anggota polisi yang menjadi terdakwa kasus tersebut.
Mereka menilai vonis di pengadilan tingkat kasasi itu belum memenuhi rasa keadilan. “Dagelan lagi, gak adil. Sebanyak 135 nyawa lebih kok hanya dua tahun dan dua setengah tahun. Kaya hukuman bagi maling sapi,” kata salah seorang keluarga korban, Cholifatul Nur, 40 tahun.
Cholifatul Nur yang biasa disapa Ifa ini kehilangan anak semata wayangnya Jofan Farelino, 15 tahun. Majelis hakim menjatuhkan hukuman dua tahun kepada bekas Kepala Satuan (Kasat) Samapta Kepolisian Resor (Polres) Malang Ajun Komisari Polisi Bambang Sidik Achmadi dua tahun dan 2,5 tahun penjara kepada bekas Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang Komisaris Polisi Wahyu Setyo Pranoto.
Kekecewaan keluarga korban, disampaikan melalui grup WhatsApp usai putusan MA disiarkan sejumlah media massa. Mereka memprotes putusan majelis hakim yang dianggap belum memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Ifa menyesalkan putusan hakim Mahkamah Agung yang memberikan hukuman ringan.
“Hukumannya ringan. Dikurangi remisi hari raya dan berkelakukan baik, dia hanya menjalani hukuman beberapa bulan saja. Bagaimana kalau tukar posisi?” katanya.
Ifa dan keluarga korban menuntut para pelaku dihukum mati. Sejak awal, Ifa mengaku tidak terlalu berharap terhadap laporan model A yang dilaporkan dan disidik polisi. Lantaran laporan model A, dilaporkan polisi dan disidik polisi. “Seperti jeruk makan jeruk. Penyidik polisi pasti akan membela temannya sesama polisi,” ujarnya.
Ia mengungkapkan kejanggalan dalam penanganan perkara tersebut. Yakni keluarga korban tidak diundang saat reka ulang atau rekonstruksi tragedi kanjuruhan. Sedangkan saat reka ulang tak ada polisi yang menembakkan gas air mata, berbeda dengan fakta di lapangan.
Koordinator Tim Gabungan Aremania (TGA), Dyan Berdinandri menilai putusan hakim MA lebih baik dibandingkan pengadilan pertama di Pengadilan Negeri Surabaya. Lantaran dalam pengadilan pertama, majelis hakim memutus keduanya bebas. Majelis hakim menilai keduanya tidak terbukti seperti dakwaan jaksa penuntut umum.
“Sudah ada sedikit kemajuan di bidang hukum. Sebenarnya yang kita inginkan proses hukum yang sesuai dengan kejadian di stadion Kanjuruhan,” katanya kepada Tempo.
Aremania dan keluarga korban, katanya, menuntut proses hukum yang sesuai dengan kejadian di Kanjuruhan. Mereka menuntut penyidik polisi segera menangani laporan model B yang disampaikan keluarga korban di Kepolisian Resor Malang. “Sehingga dapat memroses semua yang bersalah dalam tragedi Kanjuruhan 1Oktober 2022,” katanya.
Sampai sekarang, katanya, para eksekutor atau pelaku lapangan yang menembakkan gas air mata tidak pernah diproses secara hukum. Demikian juga dengan bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita yang tidak pernah diproses secara hukum. “Padahal saat kejadian masih PT LIB yang menaungi dan mengatur jadwal liga indonesia,” ujar Dian.
Ia menuntut keadilan ditegakan dalam kasus tragedi Kanjuruhan secara adil. Semua warga Indonesia sama di mata hukum indonesia.
Pilihan Editor: Tim Gabungan Aremania Hadiri Undangan Komnas HAM Ihwal Penyelesaian Tragedi Kanjuruhan.