TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Z Lubis menyampaikan dua alasan aturan Publisher Rights diperlukan dalam ekosistem media di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Uni dalam Diskusi Twiters Space "Untung Rugi Publisher Rights" pada Rabu, 9 Agustus 2023.
Uni mengatakan pertama, bahwa selama ini mayoritas dari iklan digital disedot oleh platform global. "Kedua hampir 80 persen dari konten media digital didistribusikan oleh platform besar ini juga," ujarnya, Rabu malam 9 Agustus 2023.
Sebelumnya, telah disusun draft Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights atau hak penerbit dengan judul "Peraturan Presiden mengenai Tanggung Jawab Platform Digital untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas". Draf regulasi tersebut dikabarkan sudah berada di meja Presiden RI Joko Widodo.
Tentu kata Uni, dari dua hal tersebut ada yang diharapkan didapatkan Publisher Rights dari sisi bisnis seperti pembagian revenue sharing oleh platform digital.
"Kita ingin mendapatkan revenue sharing yang pantas dari platform global itu. Itu dari segi bisnis," kata Uni.
Namun ketika menyoal pendistribusian konten, menurut Uni, kondisi saat ini meninggalkan kekhawatiran tersendiri. Saat ini platform berpotensi meneruskan atau mendistribusikan konten-konten yang buruk.
"Ada konten misinformasi yang berbahaya bagi publik, meski bagi saya "berbahaya" bisa ditafsirkan macam-macam," kata Uni.
Meski demikian, ia menilai ketentuan yang membuat platform menjadi editor untuk mendorong jurnalisme berkualitas seperti yang disebut dalam rancangan regulasi Publisher Rights kurang tepat. Pasalnya gatekeeper terakhir jurnalisme berkualitas itu seharusnya merupakan tanggungjawab dari media.
"Pengawasannya oleh Dewan Pers. Dan itu sudah dimandatkan dalam UU nomor 40 tahun 1999," kata Uni.
"Mengapa kita terus meminta platform menjadi the next editor? Kenapa setelah berita dibuat oleh editor masing-masing media, saat didistribusikan kemudian kita malah memberikan kewenangan kepada platform menjadi editor lagi?" ucapnya.
Uni menilai tidak ada jaminan bahwa platform akan menjalankan fungsinya sebagai gatekeeper jurnalisme berkualitas.
"Gak ada jaminan. Yang namanya platform bisa dikendalikan oleh satu atau lain pihak yang berkuasa atas platform tersebut," kata dia.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa dalam proses news room itu ada tiga tahap. Yakni pencarian berita, produksi berita dan publikasi berita.
Dari rangkaian proses itu, kata Yadi, ada satu tahap di ranah digital yang tidak masuk dalam proses jurnalistik yakni distribusi konten.
"Distribusi konten dilakukan di platform digital. Itu yang terjadi," katanya.
Namun Yadi mengakui bahwa yang berwenang dalam menjaga iklim jurnalisme berkualitas seharusnya adalah media sendiri. Aturan Publisher Right ini, kata Yadi, meminta kepada platform agar mereka hanya mendistribusikan konten-konten yang sesuai kode etik jurnalistik.
"Tapi bukan mereka yang menentukan final sesuai kode etik jurnalistik, itu tetap di Dewan Pers. Itu yang perlu dipahami kita semua," katanya.
Adapun pertimbangan pembuatan Publisher Rights, kata Yadi, adalah menjaga jurnalisme berkualitas sebagai unsur penting dalam demokrasi.
"Publisher Rights menekankan jurnalisme berkualitas sebagai salah satu unsur penting dalam demokrasi, ini perlu mendapatkan dukungan dari perusahaan platform digital," katanya.
Kedua, kata Yadi, Publisher Rights ini mendorong jurnalisme berkualitas berkembang sesuai dengan teknologi dan informasi digital.
Pilihan Editor: Menkominfo Budi Arie Bilang Bakal Tampung Keluhan Google soal Publisher Rights