TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi UU. Hal tersebut mereka sampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke 29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Rapat DPR RI, Jakarta.
Sikap penolakan Demokrat disampaikan oleh pembacaan pendapat akhir yang diwakili oleh Dede Yusuf Macan. Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu mengatakan partainya menolak RUU ini menjadi UU di pembicaraan tingkat II.
"Mengucapkan Bismillah dan mengharap ridho Allah subhanahu wa ta'ala, Tuhan Yang Maha Esa, serta keberpihakan kepada rakyat Indonesia maka dengan ini Partai Demokrat menolak Rancangan Undang-undang Kesehatan untuk disahkan menjadi Undang-undang kepada pembicaraan tingkat II," kata Dede, Selasa, 11 Juli 2023.
Tolak penghapusan Mandatory Spending Kesehatan
Dede mengatakan penolakan mereka berdasarkan beberapa catatan. Pertama, Fraksi Partai Demokrat menyoroti Mandatory Spending kesehatan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dihapus oleh pemerintah. Padahal, menurut Dede Yusuf, Demokrat berupaya untuk memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan.
"Hal tersebut semakin menunjukkan komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak merata di seluruh negeri dan peradilan bagi seluruh lapisan masyarakat," kata dia.
Keberadaan Mandatory Spending sektor kesehatan, menurut dia, masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dalam rangka mencapai indeks pembangunan manusia atau IPM.
Dede menyinggung IPM Indonesia yang masih di urutan 130 dari 199 negara berdasarkan penilaian Bank Dunia. Padahal, kata Dede, pemerintahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 menetapkan menjadi IPM Indonesia sebesar 75,54 persen. Pada tahun 2022, IPM Indonesia baru mencapai 72,91 persen.
Selanjutnya, RUU Kesehatan dinilai bentuk liberalisasi tenaga kesehatan dan medis
Partai Demokrat juga menilai RUU Kesehatan ini menunjukkan indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan.
"Perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi seperti pembiayaan dan dampak yang dikhawatirkan semua pihak," kata dia.
Fraksi Demokrat, kata Dede, melihat ada keinginan pemerintah untuk menggalakkan investasi dan kepentingan ekononomi di bidang kesehatan. Namun di lain sisi, Demokrat berpendapat hal tersebut justru akan berdampak negatif.
"Jika ada keinginan untuk menggalakkan investasi di dan kepentingan ekonomi kita namun jika undang-undang dan kebijakan kesehatan terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis tentulah tidak baik," katanya.
RUU Kesehatan dinilai dibahas secara terburu-buru
Ketiga, kata Dede, Fraksi Demokrat, menilai penyusunan RUU ini kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup panjang sehingga terkesan sangat terburu-buru. Padahal, menurut Demokrat, RUU ini akan lebih komprehensif, berbobot dan berkualitas jika ruang pembahasan dibuka selebar-lebarnya dan waktu yang diberikan cukup panjang.
"Pembentukan undang-undang harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undang yang baik Bagaimana yang diatur dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atau undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undang," kata Dede.
Selanjutnya, PKS juga singgung soal Mandatory Spending