TEMPO.CO, Jakarta - Kepergian Adnan Buyung Nasution pada Rabu, 23 September 2015 meninggalkan duka mendalam bagi dunia hukum Indonesia. Tak hanya bagi yang berkecimpung di dunia hukum dan kalangan pengacara. Buyung, sapaannya, dikenal sebagai seorang advokat andal, aktivis pro demokrasi dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Profil Adnan Buyung Nasution
Adnan Buyung Nasution lahir di Jakarta pada 20 Juni 1934. Kehidupan keras masa kecil membentuknya sebagai sosok yang tangguh. Kala beranjak usai 12 tahun, dia sudah harus belajar mencari uang. Bersama adiknya, Samsi Nasution, mereka menjual barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu pula ibunya, Ramlah Dougur, berjualan es cendol.
Sementara ayahnya, R. Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda pada 1947 hingga 1948. Sang ayah merupakan sosok yang bisa dibilang memberikan banyak pengaruh pada Buyung kecil. Selain sebagai seorang pejuang gerilya dan reformasi, Rahmat juga merupakan pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat, sekaligus perintis The Time of Indonesia
Ketika mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama, Buyung dapat mengikuti mobilisasi pelajar berkat keaktifan sang ayah dalam politik. Dalam kariernya di organisasi tersebut, Buyung tercatat ikut berdemonstrasi terhadap pendirian sekolah NICA di Yogyakarta. Perjalanan karier sebagai advokat membuat Buyung kenyang makan asam garam kehidupan.
Hatinya terenyuh ketika melihat para terdakwa yang pasrah menerima dakwaan. Berangkat dari sana, Buyung lantas menggagas berdirinya Lembaga Bantuan Hukum atau LBH. Bagi Buyung, terdakwa belum tentu bersalah. Mereka butuh pembela. Namun sayangnya banyak tersangka yang tak mampu membayar pengacara. Saat di persidangan mereka tidak bisa membela diri.
Ide mendirikan LBH terealisasi setelah Buyung melanjutkan pendidikan di Universitas Melbourne. Di sana Adnan belajar bahwa Lembaga Hukum memiliki pola, model, dan bentuk. Dia kemudian membagi ide tersebut kepada Kepala Kejaksaan, Agung Soeparto. Menurut Agung Soeparto, belum waktunya ide tersebut direalisasikan.
Tanggapan Agung Soeparto memacu Buyung untuk mendapatkan banyak persetujuan. Untuk melancarkan gagasan mendirikan LBH, Buyung melakukan pendekatan dengan banyak petinggi hukum. Seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiryadinata, dan Ali Moertopo. Melalui Ali Moertopo, ide tersebut sampai di telinga Presiden Soeharto.
Buyung akhirnya mendapatkan persetujuan dan dukungan dari pemerintah. Selain presiden, Buyung juga mendapatkan suara dari Ali Sadikin Gubernur Jakarta saat itu. Sehingga, pada 28 Oktober 1970, lahirlah LBH dengan Buyung sebagai ketuanya. Pada pembukaan LBH tersebut, Buyung mendapatkan bantuan berupa 10 skuter dari pemerintah.
Buyung menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, pukul 10.15 pagi ini. Adnan disemayamkan di rumah duka Poncol Lestari nomor 7 Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Buyung dimakamkan di TPU Tanah Kusir selepas Salat Idul Adha. Banyak pengacara Indonesia yang merasa kehilangan atas kepergian Buyung, seperti Henry Yosodiningrat.
“Yang pasti, bangsa ini kehilangan seorang pejuang. Saya tahu persis saat kita berdua masih mahasiswa pada tahun 70an, beliau seorang pejuang hak asasi manusia, seorang pemberani. Beliau sosok yang menginspirasi saya,” ujar Henry saat ditemui di rumah duka, kala itu.
Henry mengakui karakter yang dimilikinya sebagai advokat selama 37 tahun banyak diinspirasi oleh Buyung. Pendiri LBH itulah yang mengajarkan kepada Henry menjadi orang yang hangat pada orang namun yang tetap keras pada prinsip. Selain itu, menurut Henry, Buyung banyak mengajarinya teknik advokasi yang berpihak pada rakyat.
“Beliau mengajarkan ke saya, Henry, jangan sekali-kali kamu yang berbenturan dengan rakyat. Baik pertanahan, maupun perburuhan. Itulah sosok Bang Buyung,” ujar Henry.
Pilihan Editor: Adnan Buyung Nasution dalam Kenangan Bambang Widjojanto: Seandainya Hari Ini ABN Masih Ada