TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia itu melepaskan diri dari politik praktis, termasuk pada Pemilu 2024. Ia melarang capres, cawapres dan caleg menggunakan identitas NU sebagai modal politik, termasuk bila mereka warga Nahdliyin.
"Siapa pun, walaupun orang NU ndak boleh menggunakan identitas NU sebagai modal politik," kata Gus Yahya pada Kamis 25 Mei 2023.
Gus Yahya berujar setiap politikus harus berkompetisi menggunakan prestasi dan kredibilitasnya masing-masing. Ia menolak bila pada tahun politik ini mereka menggunakan politik identitas, terutama NU.
"Dia harus punya kredibilitasnya sendiri, harus punya prestasinya sendiri, dia harus punya tawarannya sendiri. Bukan hanya sekedar mengandalkan asal NU saja," ujar dia saat ditemui di Kantor PBNU, Jakarta.
Meski demikian Gus Yahya mempersilakan bila nantinya ada kader PBNU yang dipilih maju sebagai capres atau cawapres. Namun, kata dia, PBNU berlepas diri untuk terjun ke dalam politik praktis.
"Silakan, itukan bukan uruan kami. Itu urusannya partai-partai, silakan. Mau pilih siapa aja silakan, dan kami mau lihat apa tawaran-tawaran konkretnya," kata Gus Yahya.
Gus Yahya juga mengatakan PBNU tidak akan mengurusi soal capres dan cawapres pada pemilu nanti. Ia mempersilakan masyarakat menilai sendiri capres dan cawapres tersebut.
"Ya kita mana urusan apa kita harus merestui siapa saja. Memangnya kalau sekarang sampeyan nanya merestui Ganjar Pranowo apakah saya harus jawab? Kan enggak usah jawab, bukan urusan kita. Apakah saya merestui Prabowo, ya ndak akan saya jawab wong bukan urusan kita," tutur Gus Yahya.
Pilihan Editor: Mengapa PBNU dan PKB Berpisah Jalan