TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi ingin membawa sejumlah isu dalam pertemuan KTT G7 di Hiroshima, Jepang. Organisasi G7 ini berisi negara maju di dunia, mulai dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jokowi datang sebagai tamu di pertemuan tersebut karena ada undangan dari Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Salah satunya Jokowi ingin membawa suara dari negara-negara selatan dalam forum ini. Negara selatan yang dimaksud yaitu negara-negara berkembang yang posisinya berada di wilayah selatan.
Baca juga:
"Intinya negara-negara berkembang harus didengarkan, bukan hanya negara-negara maju dan negara-negara besar saja, keinginan kami kira-kira itu," kata Jokowi dalam keterangan pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 19 Mei 2023, sebelum berangkat ke Jepang.
Selain itu, sejumlah isu yang kemarin dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN di Bali, juga ingin dibawa Jokowi. "Suara di ASEAN beberapa poin juga akan kami sampaikan di G7, mungkin yang berkaitan Myanmar misalnya," kata Jokowi.
Sebelum ke Jepang, Jokowi juga sudah mengikuti KTT G7 di Elmau, Jerman, tahun lalu. Kala itu, ajang KTT di Jerman ini diwarnai oleh persaingan antara negara barat di G7 dan Cina.
"G7 itu selama ini berusaha jangan sampai kalah dengan Cina," kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani saat dihubungi, Senin, 27 Juni 2022.
Pertama, Evi menjelaskan kalau KTT G7 dilakukan sebelum dimulainya KTT G20. Sehingga, Jokowi pun diundang ke G7 karena tahun ini Indonesia jadi tuan rumah G20. Maka diharapkan, kata Evi, agenda yang diperjuangkan Indonesia di G20 bisa disetujui oleh G7 dalam kunjungan Jokowi ini.
Sebab, G7 sebagai pendiri G20 dan negara-negara dengan perekonomian paling kuat ini mempunyai suara mayoritas di G20 dibandingkan negara lain. "Jadi kehadiran presiden (di KTT G7) bagus untuk mengamankan agenda G20," kata dia.
Di sisi lain dalam konteks geopolitik, Evi menyebut sedang terjadi persaingan antara G7 dan Cina saat ini. Selama ini, negara-negara G7 mendominasi ekonomi dan politik dunia pasca perang dunia kedua sampai hari ini. Tapi kemudian muncul Cina dan beberapa negara lain yang tumbuh lebih kuat dibandingkan negara G7.
Evi pun mengingatkan kalau beberapa hari lalu negara-negara berkembang yang tergabung di BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) juga baru saja menggelar pertemuan. Jokowi ikut memberikan sejumlah usulan sebagai negara mitra di pertemuan tersebut.
"Itu (BRICS) emerging ekonomi yang juga dianggap mengancam G7, jadi dunia ini sedang berubah," kata Evi. Ekonomi dunia tak lagi bisa dikuasi G7 dan dinilai Evi melahirkan dilema di negara anggotanya.
G7 sudah mengakomodasi perkembangan dunia tersebut dengan membentuk G20, tapi tetap berusaha mendominasi di tengah Cina yang terus menguat. "Analoginya orang kaya yang sekarang mereka ga bisa mendominasi lagi, karena tetangga mereka juga lebih kaya lagi, kan menakutkan," ujar Evi.
Bahkan di internal G7 sendiri, ada juga negara seperti Jerman yang disebut Evi bermain dua kaki. Lantaran, Jerman tetap menjalin hubungan baik dengan Cina dan saling jadi mitra perdagangan terbesar.
Selanjutnya, jika negara barat di G7 tetap musuhi Cina...