TEMPO.CO, Jakarta - "Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidato pengunduran diri sebagai Presiden Indonesia di Istana Merdeka.
Pidato tersebut menjadi titik awal bagi Indonesia memasuki era Reformasi. Namun, sebelum pidato tersebut diucapkan oleh Soeharto terdapat berbagai rangkain peristiwa yang mendorong terjadinya Reformasi dan berujung pada mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada 5 Maret 1998, 20 mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR dengan tujuan menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban Soeharto yang disampaikan saat menyerahkan agenda reformasi nasional pada Sidang Umum MPR. Rombongan mahasiswa UI tersebut diterima oleh Fraksi ABRI.
Namun, pada 11 Maret 1998, Soeharto tetap dilantik menjadi presiden dengan didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden. Kemudian, pada 14 Maret 1998, Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.
Semakin buruknya kondisi sosial dan ekonomi di bawah rezmim Orde Baru, membuat banyak mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan tuntutan adanya refromasi politik. Kemudian, pada 15 April 1998, Soeharto memberikan peringatan supaya mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus.
Setelah ultimatum Soeharto, Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan yang sekaligus Panglima ABRI bersama 14 menteri mengundang mahasiswa untuk melakukan dialog di Pekan Raya Jakarta. Namun, banyak perwakilan mahasiswa yang menolak sepakat dengan hasil dialog tersebut.
Pada 1 Mei 1998, Menteri Dalam Negeri Hartono, dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan, Soeharto menyatakan bahwa reformasi baru dapat dimulai pada 2003. Kemudian pada 2 Mei 1998, pernyataan Soeharto tersebut diralat dan kemudian Soeharto membuat pernyataan bahwa reformasi bisa dilakukan pada 1998.
Laporan Antara, menyebutkan bahwa banyak mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta melakukan demonstrasi besar-besaran karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Demonstrasi tersebut berujung pada kerusuhan. Aksi demonstrasi kemudian berlanjut di Medan pada 5 Mei 1998 dan berujung kerusuhan.
Di tengah situasi ketidakstabilan, pada 9 Mei 1998, Soeharto pergi ke Kairo, Mesir untuk mengahdiri pertemuan KTT G-15 dan menjadi lawatan terakhir Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Ketika Soeharto masih berada di luar ngeri, Tragedi Trisakti pun pecah, tepatnya pada 12 Maret 1998. demonstrasi yang awalnya berjalan kondusif berubah jadi peristiwa berdarah dengan tewasnya 4 mahasiswa Trisakti. Aparat menembaki massa yang menuntut reformasi secara membabi buta, hingga saat ini kasus pertanggungjawaban tewasnya 4 mahasiswa tersebut belum tuntas.
Situasi yang semakin tidak stabil, membuat Soeharto segera kembali ke Indonesia pada 15 Mei 1998. Ketika Seoharto kembali ke Indonesia, situasi di Indonesia masih mencekam dan banyak pusat perdagngan yang tutup serta banyak warga yang takut untuk keluar rumah. Situasi yang semakin mencekam, membuat banyak warga negara asing yang kembali ke negara asalnya.
Kemudian, pada 19 Mei 1998, Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam, di antaranya Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid atau Gus Dur, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Pertemuan tersebut berlangsung selama 2,5 jam, yang semula direncanakan hanya 30 menit, para tokoh membeberkan situasi yang terjadi dan banyak masyarakat serta mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Soeharto dan Soeharto mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Soeharto menegaskan bahwa dirinya tidak mau dipilih lagi menjadi Presiden, namun pernyataan Soeharto tersebut tidak dapat meredam aksi massa. Bahkan mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk melakukan unjuk rasa semakin banyak. Di tanggal yang sama, Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Pada 20 Mei 1998, jalan menuju Lapangan Monas diblokir ole aparat keamanan dengan kawat berduri. Hal ini dilakukan untuk mencegah massa masuk ke dalam kompleks Monas. Berkaitan dengan hal tersebut, Amien Rais meminta suapaya massa tidak datang ke Lapangan Monas karena dikhawatirkan akan terjadi bentrok berdarah dengan aparat keamanan. Di sisi lain, ribuan mahasiswa sudah berhasil menguasai gedung MPR/DPR dan mendesak Soeharto supaya mundur.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden RI.
Pilihan Editor: Kilas Balik Peristiwa 21 Mei 1998 Lengsernya Soeharto dan Awal Reformasi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.