Kesaksian Mantan Wakil Dekan Universitas Trisakti Heru P Sanusi
Pada 2018 lalu, peringatan 20 tahun reformasi kembali mengingatkan Heru P Sanusi atas tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Air matanya mengalir kala mengenang peristiwa pahit itu. Matanya menerawang jauh ke masa dua dekade silam itu. “Sudah belasan tahun berlalu masih begini, selalu terbawa emosi,” ujar Heru kepada Tempo, Kamis, 3 Mei 2018.
Heru pun menceritakan kembali peristiwa berdarah itu. Hari menjelang petang. Mahasiswa berjaket biru yang berunjuk rasa sejak pagi masih bertahan di Jalan Raya S Parman, Grogol. Padahal polisi sudah mengultimatum agar mahasiswa bubar menjelang sore. “Memang waktu itu kami diultimatum oleh aparat harus mengosongkan lokasi pukul 17.00 WIB,” cerita Heru.
Sebagian mahasiswa bergeming. Mereka masih bertahan di jalan. Sebagian besar dari mahasiswa yang bertahan itu, kata dia, adalah dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Untuk itu, Dekan kedua fakultas saat itu, Khaeruman dan Ady Andojo, lantas berorasi meminta mahasiswa kembali ke kampus. Malapetaka dimulai ketika seorang alumni Trisakti yang diduga bernama Mashud, ikut meminta mahasiswa bubar.
Rupanya mahasiswa mengira Mashud adalah intelijen. Kala itu isu intel yang ada digerakan mahasiswa memang kencang. Mahasiswa yang marah lantas mengejar Mashud yang lari ke arah petugas kepolisian. Melihat mahasiswa datang ke arah mereka, para petugas, kata Heru, kembali bangkit. Dari peristiwa itulah kemudian aparat menyerbu mahasiswa. Mahasiswa lalu tunggang langgang kembali ke dalam kampus. “Saya di lapangan ikut lari juga karena takut lah,” kata Heru.
Meski berlari kembali ke kampus, Heru mengatakan mahasiswa masih saling ledek dengan aparat. Saat itu, kata dia, petugas sudah melepaskan tembakan ke arah mahasiswa. Pada awalnya, menurut Heru, mahasiswa tak terlalu takut. Mereka mengira tembakan yang dilepaskan hanya menggunakan peluru karet. Tembakan itu terus menghujani Kampus Trisakti, kata Heru, hingga kemudian gas air mata juga ikut dilemparkan ke dalam kampus. “Saat itu tetap masih ledek-ledekan,” ujar Heru.
Setelah masuknya gas air mata, ia menuturkan keadaan mulai mencair lantaran massa merasa matanya mulai pedih. Tapi suasana mencekam terasa saat Heru berjalan dari pintu gerbang ke arah Gedung Otorita Kampus yang berjarak sekitar 100 meter. Saat itu melihat seorang mahasiswa tergeletak. Tanpa pikir panjang dia mengangkat tubuh mahasiswa itu.
Heru membawanya ke ruangan Otorita dan meletakkannya di meja. Saat itu dia melihat darah mengalir deras dari leher sang mahasiswa yang saat itu belum ia ketahui namanya. Tubuh mahasiswa itu mengejang. “Di situ saya merasa bersalah,” ujar Heru yang kemudian terdiam menahan emosi. “Karena kan itu tanggung jawab saya ya, dia mahasiswa saya.”
Heru mengatakan, ia sempat kehilangan tubuh mahasiswa tersebut setelah sempat meninggalkannya sendiri di dalam ruangan karena hendak mencari ambulans. Saat itulah Wakil Dekan itu mendengar desing peluru yang mengenai dinding kampus. Dia yakin bukan peluru karet yang ditembakkan ke arah kampus. Melainkan peluru tajam. “Saya yakin,” ujar dia. Mahasiswa yang belakangan diketahui sebagai Hendriawan Sie itu ternyata dibawa ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Heru yang berusaha menemukan Hendriawan mengejar ke rumah sakit itu. Ia sempat kesulitan keluar kampus karena aparat menjaga ketat kampus itu di luar. “Marinir ada, baju hijau juga, dikepung kampus, mau keluar juga takut, “ kata Heru. Ia pun memutar otak agar bisa keluar kampus dan menuju rumah sakit untuk mencari Hendriawan. Heru melompat pagar kampus yang menghadap Jalan Kyai Tapa.
Dia mencoba menyelinap membaur dengan masyarakat yang kala itu sedang menonton peristiwa itu. Ia lalu jalan kaki menuju RS Sumber Waras. Setiba di Sumber Waras, Heru melihat kesibukan dokter yang luar biasa di unit gawat darurat. Saat itu banyak mahasiswa terluka yang tengah dirawat. Namun ia tak menemui tubuh mahasiswa yang ditolongnya tadi.
Pencarian Heru berakhir di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan Unit Gawat Darurat. Dua jasad mahasiswa telah terbujur kaku di sana. Heru kemudian memastikan salah satunya adalah mahasiswa yang sempat ditolongnya di dalam kampus tadi. Dua jasad mahasiswa itu adalah Hendriawan Sie dan Elang Mulia Lesmana.
Heru yang panik menelepon Dekan Fakultas Hukum Ady Andojo dan memintanya datang ke Sumber Waras. Heru pun harus menghadapi keluarga korban yang kemudian datang. Salah satunya adalah Tetty, ibu Elang Mulia Lesmana. Perempuan itu tak kuasa menahan tangis saat melihat tubuh anaknya yang tak bernyawa lagi. Dan setelah magrib kesedihan terus berlanjut ketika dua jasad lagi masuk ke ruangan itu. Keduanya adalah Hafidhin Royan dan Hery Heriyanto.
Pilihan Editor: Ini 9 Link Twibbon Reformasi, Download dan Upload
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.