TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas mengatakan kewenangan menjadikan polisi sebagai kuasa hukum terdakwa perkara tragedi Kanjuruhan sepenuhnya ada di tangan Majelis Hakim.
Anggota Kompolnas Yusuf Warsyim mengatakan Polri memiliki pertimbangan yuridis memberikan bantuan hukum kepada anggotanya. Menurut dia berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri menyebug anggota Polri tunduk kepada peradilan umum.
Adapun pelaksanaan hal tersebut, Undang-undang mengamanatkan diatur Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini, Yusuf membeberkan PP Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri. Dalam Pasal 13 ayat (1) PP tersebut berbunyi tersangka atau terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berhak mendapatkan bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
Kemudian pada ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan tugas. Dalam ayat (3), bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan memanfaatkan penasehat hukum dari institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau penasehat hukum lainnya.
Menurut Yusuf, apabila dilihat dari sisi Polri memberikan pendamping hukum dari anggota Polri kepada terdakwa dalam persidangan kasus Kanjuruhan, Polri memiliki landasan yuridis yang sangat jelas berdasarkan Pasal 13 PP No 3 Tahun 2003 tersebut. “Sehingga langkah Polri tersebut dapat dipahami secara yuridis,” ujar Yusuf.
Namun di luar dari peraturan tersebut, Yusuf mengatakan adalah kewenangan majelis hakim yang menyidangkan untuk menerima atau tidak pendamping hukum dari anggota Polri terhadap terdakwa yang unsur anggota Polri.
“Sepenuhnya di tangan hakim. Hanya saja saya sebagai anggota Kompolnas dapat memahami adanya pendapat masyarakat yang keberatan dengan langkah Polri tersebut,” kata Yusuf.
Ia mengatakan Kompolnas telah memantau adanya elemen masyarakat yang menyorot dan bahkan menyoal pendampingan hukum terhadap terdakwa anggota Polri dalam persidangan kasus Kanjuruhan.
“Intinya ada pendapat yang berkeberatan anggota sebagai pendamping hukum atau kuasa hukum di persidangan pidana. Ya tentu ini bisa dijadikan masukan. Kompolnas mencatat dan untuk dilakukan kajian apakah ini tepat atau tidak,” kata Yusuf.
Namun Yusuf mengatakan terkait tumpang tindih antara Peraturan Kapolri tentang bantuan hukum untuk anggota dengan Undang-undang Advokat, hal itu bukan wewenang dari Kompolnas.
KontraS Protes Sidang Kanjuruhan
Sebelumnya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya melecehkan sistem hukum peradilan dengan menerima anggota kepolisian sebagai penasihat hukum dalam sidang perkara tragedi Kanjuruhan.
Koordinator KontraS Bidang Advokasi Tioria Pretty mengatakan pihaknya melihat ada kejanggalan dalam keputusan ini. Pasalnya, Majelis Hakim PN Surabaya menerima Kepala Bidang Hukum Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Polisi Adi Karya Tobing, sebagai kuasa hukum tiga terdakwa anggota polisi dalam sidang tragedi Kanjuruhan.
“Kepolisian tidak memiliki wewenang melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana. Yang berhak melakukan pembelaam adalah advokat,” kata Pretty dalam webinar “Mengadili Angin Kanjuruhan” yang digelar Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ahad, 26 Maret 2023.
Ia mengatakan ketentuan tersebut sudah ditetapkan dalam Undang-undang Advokat. Meski bantuan hukum kepolisian diatur dalam Peraturan Kapolri atau Perkap Nomor 02 Tahun 2017 Tentang Bantuan Hukum, Pretty menegaskan Perkap tersebut bermasalah karena tidak bisa melampaui undang-undang.
Apalagi, kata dia, aneh apbila polisi yang menjadi pendamping hukum polisi dalam persidangan pidana.“Jadi ketika penyidiknya kepolisian, kemudian terdakwanya kepolisian, lalu pembela hukumnya polisi. Ini merusak bahkan melecehkan sistem hukum,” tutur Pretty.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menentang keputusan Majelis Hakim PN Surabaya yang menerima anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana. Sebab, keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana dalam proses pidana, polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana.
“Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat. Anggota Polri tidak dapat menggunakan atribut atau toga advokat,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mewakili pernyataan bersama Koalisi Masyarakat Sipil, 21 Maret 2023.
Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua terdakwa dalam Tragedi Kanjuruhan. Sejak pengusutan, kasus itu dinilai banyak janggal. Pada 17 Maret 2023, proses hukum dalam perkara Tragedi Kanjuruhan mencapai akhir babak pertama. Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Komisaris Wahyu Setyo Pranoto dan Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dua aktor yang diduga bertanggung jawab atas tragedi yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022 itu. Pada saat itu, Wahyu menjabat sebagai Kepala Bagian Operasional Polres Malang sementara Bambang merupakan Kepala Satuan Samapta Polres Malang.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Abu Ahmad Siddqi Amsya menyatakan bahwa kedua aktor tidak terbukti melanggar dakwaan jaksa. Untuk Wahyu, Majelis Hakim menyatakan dakwaan kelalaian yang menyebabkan kematian tidak dapat diterapkan pada Wahyu karena tembakan gas air mata bukan atas inisiatifnya. Bambang, yang terbukti memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan gas air mata, dibebaskan karena Majelis Hakim menyimpulkan bahwa gas air mata sudah terbawa hembusan angin ke sisi selatan Stadion Kanjuruhan.
Pilihan Editor: Pakar Hukum: Pengadilan Harusnya Tolak Polisi Jadi Kuasa Hukum Terdakwa Tragedi Kanjuruhan