TEMPO Interaktif, Jakarta: Tak perlu melibatkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat pejabat dan korporasi perusak lingkungan.
"Bukan hal yang muskil, Undang-Undang Lingkungan Hidup sudah jelas pidananya," kata ahli hukum bisnis Universitas Sumatera Utara, Ningrum
Natasya Sirait. Kamis (16/4)
Menurut Ningrum, selama ini korporasi pelanggar lingkungan hidup
sebatas dikenai denda. "Itu tak menimbulkan efek jera," jelasnya. Di
tingkat aparat, katanya, masih timbul dua pendapat bahwa korporasi bisa
dipidanakan hingga pemegang sahamnya versus faham korporasi tidak bisa
dipidanakan. Ia menyayangkan kasus lingkungan orientasinya ganti rugi bukan pidana direksi korporasi.
Ia mencontohkan kasus lumpur Lapindo. Menurut dia, jelas direksi perusahaan telah melakukan kelalaian. Namun, pemerintah justru mengutamakan ganti rugi
yang belum tuntas hingga saat ini.
Komisioner Bidang Kerja Sama dan Pendidikan serta Kepelatihan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Teguh Soedarsono, mengatakan banyak kasus lingkungan diputus bebas karena diadili di peradilan umum. "Ini ironis," ujarnya.
Hakim dan jaksa yang tidak terbiasa menangani hukum lingkungan dakwaanya sangat tidak mengena. Terutama untuk sasaran pemberi izin seperti kepala dinas dan bupati.
Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor Bambang Heri
Saharjo mengaku, selama diminta jadi saksi ahli kasus lingkungan,
banyak yang tidak mengena pelaku di belakang layar. "Ini akibat
penafsiran undang-undang digunakan aparat tidak sama," ujarnya.
Begitu pula intervensi birokrat yang masih kental di daerah, pengaruhnya bisa mengubah putusan pengadilan.
DIANING SARI