TEMPO.CO, Jakarta - Munculnya kasus harta kekayaan pejabat tak wajar seperti yang dimiliki mantan Kepala Bagian Umum Kantor Pajak Wilayah Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo, dinilai karena lemahnya pengawasan terhadap illicit enrichment atau penambahan kekayaan pejabat secara tidak wajar. Hal itu membuat budaya korupsi di Indonesia masih tinggi.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Zaenur Rahman menyebut seharusnya penambahan harta kekayaan pejabat secara tidak wajar bisa menjadi peringatan adanya dugaan korupsi. Namun, kata dia, saat ini illicit enrichment masih dibiarkan terjadi di tengah pejabat Indonesia.
“Kalau dalam konsep tindak pidana korupsi penambahan secara tidak wajar itu kan illicit enrichment. Sampai sekarang illicit enrichment bukan merupakan pelanggaran hukum,” kata Zaenur pada Ahad 5 Maret 2023.
Oleh sebab itu, Zaenur menilai lemahnya pengawasan terhadap illicit enrichment memunculkan fenomena gaya hidup bermewah-mewahan para pejabat negara dan keluarganya. Padahal, kata dia, hal tersebut memicu seorang pejabat untuk melakukan pidana korupsi.
“Gaya hidup yang bermewah-mewah akan memunculkan kehausan validasi dari orang lain. Sehingga, gaya hidup tersebut memang menjadi salah satu faktor pendorong korupsi,” ujarnya melalui keterangannya.
Baca Juga:
Suara senada juga disampaikan oleh mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif. Ia menilai lemahnya pengawasan dan pencegahan korupsi para pejabat negara adalah karena hukum di Indonesia belum ada yang mengakomodasi illicit enrichment dan unexplained wealth.
"Keduanya belum dianggap sebagai kejahatan. Jadi sulit merampas aset penjahat. Karena sampai sekarang belum ada Undang-undang Perampasan Aset," ujar Direktur Eksekutif Kemitraan tersebut pada kepada Tempo via pesan tertulis pada Sabtu, 4 Maret 2023.
KPK akui sulit melakukan penindakan terhadap pejabat yang memiliki kekayaan tak wajar
KPK sempat mengakui masih kesulitan melakukan penindakan terhadap pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut Komisi terhambat karena belum adanya regulasi yang mengakomodasi penindakan terhadap kekayaan tidak wajar para pejabat negara.
“Sebenarnya itu wajib untuk diadopsi,” kata Nawawi pada Kamis 2 Februari 2023 di kantornya, Gedung Merah Putih KPK. Jakarta.
Harta Rafael Alun disorot setelah kasus putranya mencuat
Harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo menjadi sorotan publik setelah kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy Satriyo, mencuat. Mario menganiaya seorang anak berusia 17 tahun berinisial D hingga mengalami koma. Mario saat ini telah mendekam di dalam tahanan Polres Jakarta Selatan.
Mario disebut kerap memamerkan harga kekayaan orang tuanya di media sosial. Diantaranya adalah mobil Jeep Rubicon dan motor gede Harley Davidson.
Belakangan, Rafael menyatakan bahwa Jeep dan Harley yang dipamerkan Mario itu bukan miliknya. Mobil Jeep Rubicon tersebut juga diketahui atas nama seorang office boy di unit Inafis (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System) Polri.
PPATK kemudian menyatakan telah menemukan transaksi tak wajar dalam rekening Rafael Alun. Temuan itu bahkan disebut sudah dilaporkan ke aparat penegak hukum sejak 2012.
Berdasarkan dokumen Laporan Harta Kekakayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK, Rafael memiliki harta berjumlah Rp 56 miliar. Hartanya itu paling banyak berupa properti yang nilainya ditaksir mencapai Rp 51 miliar.
KPK menilai jumlah harta yang dimiliki Rafael mencurigakan. Sebab, sebagai pejabat Eselon III di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak jumlah harta itu tidak sesuai dengan profil gajinya.
KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap Rafael Alun Trisambodo pada Rabu lalu, 1 Maret 2023. Dalam pemeriksaan itu, mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu mengaku tak melaporkan sejumlah harta kekayaannya kepada KPK. Diantaranya adalah motor Harley Davidson yang disebut tidak memiliki surat menyurat secara legal atau bodong.
Setelah Rafael Alun, muncul juga kasus kekayaan milik Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Kementerian Keuangan lantas mencopot Eko dari jabatannya karena dia disebut memiliki sejumlah harta yang tak dilaporkan dalam LHKPN.