TEMPO.CO, Surabaya - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar Internasional Fikih Peradaban 1 di Hotel Shangri-La Surabaya, Senin, 6 Februari 2023.
Muktamar dihadiri oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan sejumlah ulama serta tokoh-tokoh Islam luar negeri. Antara lain Wakil Imam Akbar Al Azhar Muhammad al-Duwaini, Sekretaris Jenderal Dewan Hakim Mohamed Abdelsalam dan Ketua Dewan Fatwa UAE Omar Habtoor Al Darei.
Dalam sambutannya Gus Yahya sempat mengkilas balik ketika pada November 2022 organisasi kemasyarakatan terbesar Indonesia itu menginisiasi terselenggaranya forum pertemuan para pemimpin agama dari seluruh dunia yang dinamakan R20. Dari kegiatan yang merupakan rangkaian acara G20 saat itu, kata Gus Yahya, dicapai kesepakatan bahwa para pemimpin agama akan menggalang kekuatan agama-agama bagi perjuangan mewujudkan dunia yang lebih damai dan harmonis.
Sejak itulah, ujar Gus Yahya, masing-masing komunitas agama di seluruh dunia mulai bekerja untuk mengupayakan inisiatif-inisiatif dari sisi agamanya masing-masing. "Dan hari ini Nahdlatul Ulama menginisiasi satu upaya dari sisi Islam sebagai sumbangan bagi perjuangan untuk membangun peradaban masa depan umat manusia yang lebih mulia, damai dan harmonis," tutur Gus Yahya.
Tujuan itu akan tercapai, menurut Gus Yahya, jika terlebih dahulu kita semua membedah diri kita masing-masing apa sesungguhnya yang menjadi wacana keagamaan kita. Agar ke depan Islam benar-benar hadir sebagai solusi dan tak lagi dianggap sebagai bagian dari masalah.
"Muktamar Fikih Peradaban ini baru langkah awal yang sederhana, tapi kami ingin ke depan bisa menjadi perjuangan panjang, menjadi muktamar reguler yang rutin digelar dari tahun ke tahun," kata Gus Yahya.
Fikih Islam
Sementara itu Wapres Ma'ruf Amin yang menjadi pembicara kunci Muktamar Internasional Fikih Perdaban 1 dengan makalah berjudul "Kebutuhan Rekontekstualisasi Pandangan Keagamaan di Tengah Perubahan Realitas Peradaban" menuturkan, topik tersebut cukup menarik bila dikaitkan dengan karakter hukum Islam (fikih) yang fleksibel dan dinamis mengikuti dinamika perkembangan zaman.
Ma'ruf berujar terdapat dua hal pokok dalam ajaran Islam, yakni ajaran yang tak bisa diubah dan ajaran yang masih memungkinkan untuk berubah mengikuti zaman. Para ulama, kata Ma'ruf, telah merumuskan perangkat metodologi untuk melakukan perubahan itu.
"Orang yang beranggapan bahwa ajaran Islam alergi pada perubahan, atau sebaliknya yang beranggapan bahwa semua ajaran Islam memungkinkan untuk berubah, berarti ia tidak memahami ajaran Islam itu sendiri," kata Ma'ruf.
Terhadap ajaran yang sesui nash-nya tak bisa diubah, maka tidak mungkin diotak-atik lagi. Namun Ma'ruf mengatakan terbuka luas bagi yang memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman serta peradaban.
"Dalam membangun perdaban penting untuk dilandaskan pada kesadaran bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi yang diberi mandat untuk mengelola bumi serta peradabannya. Selain itu juga harus dilandaskan pada dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan," tutur dia.
Baca Juga: Peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama, Presiden Jokowi Ikut Jalan Sehat di Solo