TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris Majelis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani menanggapi soal elektabilitas partai berlambang Ka'bah itu yang anjlok dalam setiap survei. Padahal, kata Ahmad, PPP pernah menjadi partai pemenang pemilu di DKI Jakarta, namun kini hanya mendapatkan satu kursi saja di DPRD DKI Jakarta.
Menurut Yani, prinsip partai sejak dulu selalu mengedepankan hadis dan Al Quran dalam pembuatan kebijakan, hal ini membuat ceruk utama pemilih PPP merupakan umat muslim. Namun, Yani menganggap kepengurusan PPP saat ini seolah tidak lagi menggunakan cara tersebut.
"Lambat laun PPP kehilangan karakteristik, nasab dan mazhab. Oleh sebab itu suara PPP menurun drastis," ujar Yani dalam acara Refleksi Setengah Abad PPP di Jakarta Timur, Kamis, 5 Januari 2023.
Salah satu peristiwa yang menjadi titik balik menurunnya pemilih PPP menurut Yani, saat Pilkada 2017 partai memilih untuk mendukung Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Padahal, saat itu Ahok sedang bermasalah karena melakukan penistaan agama.
Dampak dari dukungan terhadap Ahok itu, menurut Yani, terlihat dari rendahnya pemilih PPP di Jakarta dan hanya membuat partai itu mendapatkan 1 kursi di DKI.
"Pemilu kemarin (2019) tinggal 19 kursi di DPR. Itu kalau dikonversi ke suara nggak sampai angka 4 persen atau nggak lolos parliamentary threshold," kata Yani.
Disebut jarang datangi Pesantren
Salah satu kader PPP yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan, Husnan Bey Fanani juga mengkritik salah strategi pengurus partai saat ini yang membuat elektabilitas anjlok. Cucu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) itu menyebut basis suara pemilih PPP berada di daerah, khususnya di pesantren.
"Maka faktor pesantren dan manusia mukmin di daerah itu menjadi sumber (suara partai) di daerah. Tapi mereka hanya didatangi ketika mendekati pemilu," ujar Husnan.
Husnan menyebut PPP pernah menjadi partai Islam terbesar di dunia dengan jumlah pemilih mencapai 38 juta. Tingginya jumlah pemilih itu lantaran partai tidak pilih-pilih dalam merangkul organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama hingga Masyumi. Namun, Husnan menyebut PPP seperti kehilangan identitasnya hingga ditinggal oleh pemilihmya.
"Kita doakan tidak hilang itu PPP di 2024," kata Husnan.
Sementara itu Wakil Majelis Pakar PPP, Anwar Sanusi menyebut turunnya elektabilitas partai bukan semata-mata karena partai pernah mendukung Ahok, tetapi juga karena konflik internal partai politik yang tidak diselesaikan melalui AD/ART yang telah disepakati. Ia mencontohkan hal itu terjadi pada saat perebutan kursi Ketua Umum PPP antara Romahurmuziy dan Djan Faridz.
"Mahkamah Partai juga tidak independen dan memihak salah satu pihak," kata Anwar.
Untuk menyelamatkan elektabilitas partai, Anwar yang juga pendiri Forum Ka'bah Membangun (FKM), mengusulkan agar PPP segera melakukan Muktamar Luar Biasa. Melaui Muktamar tersebut, Anwar menyebut kader partai bisa semakin kompak menghadapi Pemilu 2024.
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca: FKM Desak PPP Gelar MLB untuk Kukuhkan Status Mardiono