TEMPO.CO, Jakarta -Di era reformasi demokrasi, fenomena perpindahan politisi dan pejabat publik dari satu partai politik (parpol) ke parpol lain atau pindah partai alias “kutu loncat” lazim terjadi. Terbaru, mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo alias Pakde Karwo resmi bergabung ke Partai Golkar setelah mundur dari Demokrat.
Baca : Malaysia Larang Anggota Parlemen Pindah Partai, Ini Sebabnya
Diberitakan Tempo, keputusan Soekarwo mundur dari Partai Demokrat lantaran didapuk menjadi komisaris utama PT Semen Indonesia. "Beliau membuat surat pengunduran diri dari DPP (Dewan Pimpinan Pusat)," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, Kamis, 15 Agustus 2019. Belakangan Pakde Karwo didapuk sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar periode 2019-2024.
Apa Itu Politikus Kutu Loncat?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui laman resminya menjelaskan, istilah “Politikus Kutu Loncat” dipahami sebagai sebutan bagi para politikus maupun pejabat publik yang berpindah dari parpol satu ke parpol lainnya. Alasan melakukan kutu loncat pun bermacam-macam, mulai dari sudah tidak loyalnya kepada parpol atau hendak menjadi dukungan suara.
Fenomena politikus kutu loncat ini bukanlah suatu hal yang baru, atau lazim terjadi di era reformasi demokrasi. Bahkan, tidak sedikit para elite politik yang justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa yang akan datang.
Secara umum dapat diamati bahwa parpol baru yang menjadi sandaran politikus kutu loncat adalah parpol yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas angin. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan terkait seberapa besar loyalitas dan ideologi politik para pelaku politikus kutu loncat.
Problem Besar
Ahli hukum dan tata negara LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, fenomena politikus kutu loncat yang kerap berpindah parpol menjadi problem besar di kancah perpolitikan Indonesia. Menurutnya, fenomena ini memang tidak bisa diikat oleh Undang-Undang karena menjadi urusan kontrak politik antara kader dengan parpol yang bersangkutan.
“Tindakan politikus kutu loncat yang dilakukan oleh seorang kader utama, jelas bisa merugikan parpol yang ditinggalkan yaitu rantai kaderisasi yang sudah dirintis sekian lama dan jaringan yang sudah dirintis menjadi terputus,” tutur Ikrar.
Fenomena politikus pindah partai politik, sambung Ikrar, tidak dapat dilepaskan dari kondisi internal parpol. Parpol dinilainya belum mempunyai aturan yang memadai dalam mengusung calon pejabat publik, baik kepala daerah maupun anggota legislatif. Hal tersebut menimbulkan celah bagi politikus mudah keluar masuk parpol saat menduduki pejabat publik.
HARIS SETYAWAN
Baca juga : Deretan 6 Partai Politik Lokal Aceh yang Lolos Pemilu 2024 dan Asal-usulnya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.