TEMPO.CO, Jakarta - Pada tahun politik 2023 ini, kampanye yang dilakukan para calon kandidat pemilu maupun partai politik akan kian menjamur. Kampanye tidak hanya dilancarkan secara konvensional saja, tetapi juga sudah bisa melalui platform digital seperti media sosial. Menurut Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Mudiyati Rahmatunnisa, media konvensional saat ini sudah mulai ditinggalkan.
Walaupun ada beberapa partai politik yang masih menggunakan baliho, poster, serta berbagai media konvensional lainnya, namun tetap yang lebih banyak dilakukan saat ini adalah kampanye digital.
Kampanye digital dipilih untuk menjangkau calon pemilih, khususnya bagi para generasi yang telah melek digital. Oleh karena generasi milenial dan generasi Z diketahui akan mendominasi sebagai pemilih dalam pemilu 2024 termasuk pilkada, maka media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, Facebook dipilih sebagai platform informasi utama.
Meskipun kampanye menjadi lebih mudah dan lebih tersampaikan ke target audiens, tetapi platform digital ini menurut Mudiyati tentu memiliki ancaman tersendiri di baliknya.
“Bukan tentang penempatan baliho yang salah, itu mah sudah konvensional ya menurut saya. Justru yang lebih berbahaya ya di medsos itu, karena hak dasar, hak fundamental dari pemilih untuk mendapatkan informasi yang benar jadi terancam,” kata Mudiyati kepada Tempo.co pada Ahad, 1 Januari 2023.
Disinformasi seperti hoax atau berita bohong dengan tujuan menyerang lawan, atau menaikkan pamor kandidat banyak disebarkan pada tahun politik seperti saat ini. Untuk itu, Mudiyati menjelaskan, sangat perlu adanya pengawasan baik dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) maupun dari masyarakat sendiri.
Informasi yang benar dan salah jadi sulit dibedakan karena banyaknya pendukung dan pencela dari masing-masing kubu.
“Salah satu konsekuensi dari adanya kampanye seperti ini adalah polarisasi. Jadi terkotak-kotak ya, terbelah gitu para pemilih, bahkan sampai rame lah ya. Saling mendukung, saling mencela dan lain-lain,” ujarnya.
Oleh karena besarnya ancaman disinformasi di era kampanye digital ini, maka Mudiyati menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan pada tahun politik 2023 ini agar hak pemilih untuk memperoleh informasi yang benar bisa terrealisasi.
Pemilih harus cermat dalam memeriksa sumber informasi
Manipulasi informasi, data, dan fakta yang saat ini terjadi, menurut Mudi kebanyakan dilakukan oleh akun-akun artifisial yang ada di media sosial. Maka dari itu, pastikan sumber dari informasi yang didapat adalah situs resmi parpol ataupun dari lembaga pemerintah.
Pemilih tentu harus berpikir kritis dalam memilih calon yang bijak dengan integritas dan rekam jejak paling baik, dan tentunya sesuai dengan prinsip pemilih sendiri. Jangan mudah percaya dengan akun tidak jelas, karena dikhawatirkan akun tersebut ialah buzzer yang memang bertujuan tidak baik.
Kejujuran dari partai politik
Seluruh partai politik yang turun dalam pesta demokrasi tentu memiliki satu tujuan yang sama, yakni ingin menang dalam pemilihan. Untuk mencapai tujuan tersebut, banyak dari mereka yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi menurut Mudi, jika partai politik mau berlaku jujur dalam kampanye, maka mereka telah berkontribusi dalam memenuhi hak para pemilih untuk mendapat informasi yang benar.
Penegasan peraturan
Saat ini, telah ada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam rangkaian pemilu. Akan tetapi adanya aturan tersebut belum bisa menahan pelanggaran yang terjadi selama masa pemilu.
Buzzer contohnya, sudah ada sanksi tegas yang bisa menegur atau bahkan menonaktifkannya, namun tetap saja akun-akun tersebut terus bermunculan. Hal ini menurut Mudi bisa diatasi jika pemerintah tegas dalam menerapkan UU tentang pemilu.
Pendidikan politik
Pendidikan politik seharusnya menjadi salah satu fungsi dari partai politik, tapi sayangnya fungsi ini belum terrealisasi dengan baik di Indonesia. Oleh karena itu, maka pendidikan politik menjadi tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, partai politik, guru, mahasiswa, bahkan orang tua dapat memberikan pendidikan politik dengan cara masing-masing. Hal ini bertujuan agar semakin sedikit orang yang buta politik dan demokrasi di Indonesia berjalan dengan semakin baik.
PUTRI SAFIRA PITALOKA
Baca juga: Pengamat Politik Unpad: Tahun Politik, 3 Profesi Dibutuhkan Partai Politik Termasuk Buzzer
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.