TEMPO.CO, Jakarta - Pihak terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu menghadirkan saksi a de charge alias saksi meringankan ahli pidana Albert Aries dalam sidang kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari ini, Rabu, 28 Desember 2022. Dalam kesaksiannya, Albert menjelaskan soal pelaku pertanggungjawaban pidana seorang pelaku.
Albert menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana belum tentu dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Hal tersebut dikatakan Albert ketika menjawab pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa Richard, Ronny Talapessy.
“Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan apabila dilanggar diancamkan dengan sanksi atau nestapa berupa hukuman pidana,” ujar Albert menjawab Ronny
Albert menambahkan bahwa hukum pidana di Indonesia memisahkan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Sehingga dalam hal ini, pelaku tindak pidana belum tentu dimintai pertanggung jawaban pidana.
“Ini adalah konsekuensi dianutnya paham dualistis yang secara langsung memisahkan antara tindak pidana atau strafbaar feit dengan pertanggungjawaban pidana itu sendiri," kata Albert.
Albert tak melanjutkan penjelasannya soal paham dualistis itu karena dipotong oleh pertanyaan lain dari Ronny.
Saksi meringankan keempat yang dihadirkan pihak Richard
Albert merupakan saksi meringankan keempat yang dihadirkan pihak Richard Eliezer dalam sidang. Tiga saksi meringankan lainnya dihadirkan pada Senin lalu, 26 Desember 2022. Mereka adalah Guru Besar Sekolah TInggi Driyakara Franz Magnis Suseno; pakar psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel; dan psikolog klinik dewasa, Liza Marielly.
Dalam kesaksiannya, Franz Magnis Suseno menyatakan Richard Eliezer mengalami dilema moral ketika menerima perintah untuk menembak Brigadir Yosua dari atasannya, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo.
Dilema moral itu, menurut dia, terjadi karena sebagai anggota polisi Richard memiliki keharusan untuk mengikuti perintah atasannya sementara di sisi lain terdapat nilai moral yang tak memperbolehkan seseorang membunuh orang lainnya.
Pria yang kerap disapa Romo Magnis itu pun menyatakan dilema moral itu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mengurangi hukuman terhadap Richard Eliezer.
“Karena siapa dia? Mungkin dia orang kecil jauh di bawah yang memberi perintah. Sudah biasa laksanakan, meski dia ragu-ragu, dia bingung. Itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan,” ujarnya.
Sementara Reza Indragiri Amriel menyoroti soal adanya superior order defence dalam kasus ini. Dia menyatakan bahwa Richard Eliezer bisa saja dilepas secara hukum jika Sambo terbukti menggunakan kewenangannya sebagai atasan untuk menekan bawahannya itu.
Tak hanya itu, menurut dia, superrior order defence dapat berlaku lantaran Bharada E tak dapat menolak perintah atasan. Bagaimana pun juga, anggota Polri memang didoktrin untuk patuh kepada atasan sehingga tidak kuasa menolak instruksi.
"Kalau unsurnya bisa diterima, tidak menutup kemungkinan Eliezer dapat keringanan, bahkan penghapusan hukuman,” kata Reza.
Sementara Liza Marielly adalah psikologi yang mendampingi Richard sejak tahap penyidikan. Menurut dia, Richard merupakan sosok yang memiliki kepatuhan tinggi. Kepatuhan, kata dia, adalah salah satu bentuk pengaruh sosial yang menyebabkan orang lain mau melakukan suatu hal atau beragam tindakan dikarenakan kepatuhannya pada orang lain yang dirasa lebih punya kuasa.
Dalam sidang-sidang sebelumnya, Richard Eliezer menyatakan tak bisa menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir Yosua. Pasalnya, dari sisi kepangkatan Richard menyatakan terpaut sangat jauh dengan atasannya itu.