TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan hingga ribuan orang dibantai di Kota Ciénaga dekat Santa Marta, Kolombia pada 5 hingga 6 Desember 1928. Mereka merupakan buruh perusahaan importir buah tropis, khususnya pisang, United Fruit Company. Pembantaian terjadi setelah para buruh mogok kerja untuk menuntut hak mereka. Peristiwa ini kemudian disebut Pembantaian Pisang atau Masacre de Las Bananeras.
Tragedi Pembantaian Pisang bermula dari aksi pemogokan massal pekerja United Fruit Company pada 12 November 1928. Menurut publikasi Fiction as History: The bananeras and Gabriel Garcia Marquez’s One Hundred Years of Solitude dalam Journal of Latin American Studies, para buruh mogok kerja sampai perusahaan mencapai kesepakatan dengan mereka. Namun United Fruit Company menolak bernegosiasi. Akibatnya kesepakatan dua belah pihak tak tercapai.
Baca : No Work No Pay Minim Empati Pada Buruh, Aspek : Agar Pengusaha Lepas dari Tanggung Jawab
Adapun hak yang dituntut para buruh, menurut jurnal “The Worker’s Massacre of 1928 in the Magdalena Zona Bananera – Colombia. An Unfinished Story” yaitu terkait menghentikan praktik perekrutan melalui subkontraktor, asuransi kolektif wajib, santunan kecelakaan kerja, asrama higienis dan 6 hari kerja, kenaikan gaji harian untuk pekerja berpenghasilan kurang dari 100 peso per bulan, gaji mingguan, penghapusan toko kantor, penghapusan pembayaran melalui kupon, dan peningkatan pelayanan rumah sakit.
Akibat pemogokan itu, pemerintah Kolombia pun turun tangan. Pasalnya, aksi mogok mempengaruhi perdagangan pisang Kolombia ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kepada Menteri Luar Negeri AS kala itu, Frank B. Kellogg, Pemerintah Kolombia dan perwakilan United Fruit Company melaporkan bahwa pemogokan buruh sebagai “komunis” dengan “kecenderungan subversif”. Sebanyak 300 tentara dari Bogotá kemudian dikirim pemerintah untuk menangani para pemogok. Resimen itu dipimpin Jenderal Cortes Vargas.
Berita sabotase terhadap rel kereta api membuat tentara beraksi. Sekitar 400 pemogok ditangkap. Namun, kebanyakan dari mereka segera dibebaskan oleh otoritas sipil, yang membuat Cortes Vargas kecewa. Menurut Ignacio Torres Giraldo, seorang pemimpin serikat pekerja kontemporer dan salah satu pendiri Partido Socialista Revolucionario (PSR), bahwa tidak ada pemimpin utama pemogokan yang ditangkap pada 4 Desember. Keesokannya, dengan harapan tuntunan akan disepakati, para buruh berkumpul di lapangan alun-alun utama kota Ciénaga.
Ana Carrigan dalam bukunya The Palace of Justice: A Colombian Tragedy menyebut, sebelum aksi penembakan massal, tentara telah bersiap dengan senapan mesin. Senjata itu ditempatkan di atap gedung rendah di sudut alun-alun utama. Saat itu para buruh tengah berkumpul di lapangan setelah Misa Minggu untuk mendengarkan pidato dari Gubernur. Tentara kemudian memberi ultimatum agar mereka meninggalkan lapangan dalam lima menit. Setelah itu tembakan massal pun dilepaskan kepada para buruh, tak terkecuali anak-anak.
Gabriel García Márquez menggambarkan, versi fiksi dari pembantaian tersebut dalam novelnya One Hundred Years of Solitude. Meskipun García Márquez menyebut jumlah korban tewas sekitar tiga ribu, jumlah sebenarnya tidak diketahui. Herrera Soto, salah satu penulis studi komprehensif dan terperinci tentang pemogokan 1928, telah mengumpulkan berbagai perkiraan yang diberikan oleh orang-orang sezaman dan sejarawan, mulai dari 47 sampai setinggi 2.000. Menurut Anggota Kongres Jorge Eliécer Gaitán, para buruh yang terbunuh dibuang ke laut. Sumber lain mengklaim bahwa jenazah dikuburkan di kuburan massal.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca : Tolak Usulan No Work No Pay, Buruh : Melanggar UU Ketenagakerjaan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.