TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan dan penetapan Haedar Nashir menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah lagi dilangsungkan melalui Sidang Pleno VIII Muktamar Muhammadiyah yang diadakan di Edutorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Minggu, 20 November 2022. Adapun Sekretaris Umum PP Muhammadiyah untuk menemani Hader Nashir pun dijabat kembali oleh Abdul Mu'ti.
Saat melangsungkan konferensi pers, Haedar Nashir mengatakan bahwa anggota PP Muhammadiyah telah melakukan sidang dengan suasana santai, tetapi serius dan dari hati ke hati tentang masa depan organisasi kemasyarakatan ini. Pembahasan ini pun telah disampaikan dan dibahas dalam sidang. Selain itu, Haedar juga menegaskan bahwa dirinya menerapkan prinsip kepemimpinan kolektif dalam Muhammadiyah.
Baca: Pidato di Muktamar Muhammadiyah, Haedar Nashir Ajukan 3 Pertanyaan Introspektif
Profil Haedar Nashir
Haedar Nashir yang terpilih kembali menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah merupakan seorang kelahiran Bandung pada 28 Februari 1958. Ia bergabung dengan Muhammadiyah sejak 1983 dengan nomor anggota 545549. Kala itu, ia diberikan amanah sebagai Ketua I Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Lalu, pada era 1985-1990, kariernya semakin meroket. Terbukti, Haedar berhasil menduduki jabatan Deputi Kader PP Pemuda Muhammadiyah sampai menjabat sebagai Ketua Badan Pendidikan Kader (BPK) dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah.
Namun, sebelum menduduki jabatan-jabatan tersebut, Haedar menempuh pendidikan selama bertahun-tahun sampai akhirnya ia menyandang gelar Profesor. Secara berturur-turut, inilah riwayat pendidikan Haedar Nashir, yaitu:
- Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya
- Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung
- SMP Muhammadiyah III Bandung
- SMA Negeri 10 Bandung
- STPMD APMD Yogyakarta (lulusan terbaik)
- Pascasarjana S2-Sosiologi UGM (Cumlaude)
- Pascasarjana S3 Sosiologi UGM (Cumlaude)
- Gelar Profesor, Bidang Ilmu Sosiologi, Unit Kerja Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain aktif dalam Muhammadiyah, Haedar merupakan seorang Dosen Program Doktor Politik Islam pada program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, seperti dilansir ip.umy.ac.id. Tidak hanya itu, suami dari Ketua Organisasi Perempuan Muhammadiyah Aisyiyah, Dra Siti Noodjannah M.Si, M.M pun dikenal sebagai penulis karya tulis ilmiah, baik buku maupun artikel yang sangat produktif. Adapun, beberapa judul buku karya Haedar Nashir, di antaranya:
- Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama (1993)
- Budaya Politik dan Kekuasaan (1997)
- Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010)
- Memahami Ideologi Muhammadiyah (2014)
- Tragedi Neo-Holocaust (2017)
- Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis (2019)
Pemikiran Haedar Nashir
Pemikiran Haedar Nashir nyaris serupa dengan Azyumardi Azra, seprang cendekiawan muslim dan intelektual bangsa yang memiliki maqom begawan atau ar-rasih fil-'ilmi. Haedar menilai Azyumardi adalah sosok yang pemikirannya jernih dan komprehensif dalam menggambarkan kedalaman dan keluasan ilmu, khususnya ilmu keislaman di berbagai segi kehidupan.
Dalam Muktamar ke-48 itu, Haedar mengatakan, Muhammadiyah juga akan merumuskan Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan pandangan Muhammadiyah tentang Islam sebagai pokok pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Tujuannya, pandangan Islam dapat dilaksanakan dan menjadi alam pikiran seluruh warga dan pimpinan Muhammadiyah.
Haedar Nashir pun pernah menyatakan masalah radikalisme bukanlah persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara. Sehingga, menurutnya perlu pemahaman yang luas dan mendalam agar tidak salah dalam cara pandang dan cara menghadapinya.
"Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme," ujar Haedar saat pengukuhann dirinya sebagai guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Kamis 12 Desember 2019.
Melalui tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi itu, Haedar mengatakan kekeliruan memaknai radikal dan radikalisme sebagai terorisme itu sebagaimana sama keliru atau biasa jika dilekatkan pada satu aspek dan kelompok tertentu seperti radikalisme agama atau lebih khusus radikalisme Islam.
Haedar Nashir meminta para guru besar persyarikatan Muhammadiyah harus bisa menjadi panduan yang membantu mengarahkan masyarakat dan umat kepada jalan kebenaran dan kebaikan.
"Jangan sampai para intelektual ini terbawa pola pikir pendek yang marak saat ini dan kehilangan perspektifnya memandang luasnya isu yang terjadi," ujar Haedar saat menghadiri Silahturahim Guru Besar Muhammadiyah 29 Juli 2019 di gedung AR Fachrudin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Haedar pun meminta para guru besar Muhammadiyah bisa mencegah masyarakat jatuh dalam taqlid (mengekor) buta dan bisa memberikan solusi yang bermanfaat.
"Ini alasan kenapa Muktamar yang kita adakan setiap tahun selalu berusaha mengatasi isu-isu strategis yang terjadi di masyarakat, bukan untuk keren-kerenan tapi demi memberikan jalan keluar sesuai nilai Islam yang berkemajuan," katanya.
Selanjutnya: 4 tentang 4 Amanat Muktamar Muhammadiyah