TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Olivia Ch Salampessy mengungkapkan, ada 35 pengaduan dalam kasus kekerasan seksual dan diskriminasi di perguruan tinggi pada kurun 2015-2021. Kasus di perguruan tinggi menurut dia, umumnya memanfaatkan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan penelitian dengan modus mengajak korban ke luar kota.
“Juga melakukan pelecehan seksual secara fisik dan non fisik saat bimbingan skripsi di dalam dan luar kampus,” ujar Olivia saat mengisi kuliah umum di Institut Teknologi Bandung secara daring, Rabu 2 November 2022. Pelaku kekerasan dari kalangan dosen menurutnya berjumlah 15 orang. “Kami mrekomendasikan kepada Menteri Pendidikan untuk dipecat dosennya,” ujar dia.
Secara umum kasus kekerasan seksual dan diskriminasi di lingkungan dunia pendidikan, terjadi di semua jenjang, mulai dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Jumlah kasusnya yang tercatat Komnas Perempuan dan lembaga lain, total 67 laporan sejak 2015 – 2021. Lebih dari separuhnya berasal dari lingkungan kampus.
Kasus terbanyak kedua yaitu 16 laporan berasal dari kalangan pesantren. Berbeda di lingkungan pendidikan lainnya, di lingkungan pesantren punya ciri khas bentuk kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan seperti mamanipulasi santri bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan ilmu, akan terkena azab, tidak akan lulus, dan hafalan akan hilang. “Kerentanan ini terjadi pada santri yang belum membayar biaya pendidikan,” kata Olivia.
Pada kurun 2015-2021 itu setidaknya ada 28 orang guru atau ustad, 15 dosen, 9 kepala sekolah, 10 peserta didik, dua pelatih, dan tiga orang pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan. Olivia menyayangkan sebanyak 54 orang atau 80 persen pelaku merupakan pihak yang seharusnya melindungi korban.
Namun tindakan kepala sekolah misalnya, mengeluarkan korban kekerasan seksual dan yang menikah dari sekolah, dilarang mengikuti ujian nasional, maupun kegiatan belajar mengajar. “Para pelaku yang seharusnya menjadi pelindung justru yang paling besar melakukan kekerasan seksual,” kata Olivia.
Korban mengalami trauma psikis, juga mengalami kriminalisasi dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik lembaga pendidikan. Trauma psikis itu menurut Olivia bisa berisiko tinggi seperti korban melakukan bunuh diri. Selain itu korban dikucilkan dan akses pendidikannya terputus.
Menurut Olivia, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan itu 91 persen bentuknya perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, kemudian 8 persen kekerasan psikis dan diskriminasi misalnya dikeluarkan dari sekolah, lalu karena aktivitas kekerasan fisik sebanyak 1 persen.
Baca juga: Selama Hampir 1 Dekade, Komnas Perempuan Himpun 2,2 Juta Laporan Kekerasan terhadap Perempuan
ANWAR SISWADI