INFO NASIONAL -- Semua pihak, wajib menjamin kedaulatan pangan. Apalagi masing-masing daerah di Indonesia memiliki nilai. Oleh karena itu, tidak bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya saja Nusa Tenggara Timur (NTT), walaupun cuacanya panas namun tanaman sorgum bagus untuk dibudidayakan di sana.
“Tidak perlu orang Flores disupply beras di sana,” kata Direktur Eksekutif KEHATI Riki Frindos saat membuka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia: Kedaulatan dan Keragaman Pangan Nusantara”, kerja sama Tempo – KEHATI di Gedung Tempo, Jakarta, awal September lalu.
Hal itu diamini Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Rinna Syawal. Sesungguhnya, Indonesia merupakan Negara Terbesar No.3 di dunia terkait keanekaragaman hayati (Biodiversity). Tiap wilayah, memiliki sumber pangan beraneka ragam. Terdapat 77 jenis sumber karbohidrat, 389 jenis buah-buahan, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman di Tanah Air.
Oleh karena itu, menurut Rinna, dengan adanya penganekaragaman konsumsi pangan maka masyarakat tidak terpaku pada satu jenis makanan pokok saja. Namun, juga mengonsumsi bahan pangan lain. Selain itu, pemanfaatan pangan lokal secara massif dapat mendorong ketahanan pangan nasional. Inovasi teknologi dan formula rekayasa sosial juga perlu dilakukan. Hal itu untuk terbentuk kawasan diversifikasi pangan yang ideal sesuai budaya setempat.
Selama ini, pemerintah fokus kepada ketersediaan beras. Namun, nasi menjadi salah satu penyebab diabetes. “Apakah kita bisa menggantikan dengan bahan pangan lain. Dan apakah mau menciptakan subsidi untuk mereka yang mau mengeluarkan makanan sehat. Mau menciptakan makanan sehat,” kata Spesialisasi Gizi dari Kedokteran Universitas Indonesia Rina Agustina.
Indonesia, kata dia, memiliki keanekaragaman makanan. Namun, harus diperhatikan proses hulu dan hilirnya. “Karena banyak yang aspek di hulu dan prosesnya itu justru memberikan dampak pada hilir dan kesehatan itu sendiri.” Menurutnya, yang saat ini menjadi penting dari keanekaragaman itu bukan hanya untuk kesehatan namun juga healthy diet dan sustainability food system.
Proses hulu ke hilir itu tentunya telah dipikirkan KEHATI kala membudidayakan sorgum bersama masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). “Reinventing dan pengembangan benih dan sumber pangan lokal, budidaya, pengolahan pascapanen, pengembangan produk olahan sorgum, kampanye dan Gerakan konsumsi sorgum untuk pangan dan gizi serta olahan lain, dan pemanfaatan limbah sorgum adalah beberapa pembelajaran program sorgum dari KEHATI,” tutur Manajer Ekosistem Pertanian KEHATI Puji Sumedi saat menjadi key resources bersama tiga lainnya.
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia: Kedaulatan dan Keragaman Pangan Nusantara” di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa 6 September 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Sementara untuk pengembangan diversifikasi pangan, menurut Puji, perlu diperhatikan empat hal. “Pertama, sesuai agroklimat dan kearifan lokal. Kedua, budidaya lestari menjadi kekuatan dan daya saing dalam pengembangan pangan lokal yang adaptif terhadap krisis. Ketiga, partisipasi masyarakat menjadi kekuatan. Keempat pendampingan kelembagaan dan sinergi para pihak.”
Orang NTT, kata Maria Loretha, ‘Mama Sorgum” dari Yayasan Pembangunan Sosial dan Ekonomi (Yaspensel) NTT, sudah terbiasa makan jagung. Makan kacang-kacangan sudah cukup seperti makan nasi. “Tidak apa mereka makan biji-bijian, enggak usah repot memaksakan makan yang lain,” kata dia.
Untuk kedaulatan pangan maka Indonesia harus berani untuk menekan jumlah penduduk. “Jangan terlalu cepat beranak pinak agar tidak terganggu kedaulatan pangan,” kata dia. Selain itu, Indonesia juga harus segera mengembangkan tanaman lokal.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani ada lima poin yang dituju berdasarkan Pokja Tim Transisi Jokowi-Jusuf Kalla, 2014. “Pertama, peningkatan kedaulatan petani, kedua peningkatan indeks pertanaman sawah, ketiga peningkatan nilai tambah pertanian, keempat peningkatan pendapatan petani sebesar 31,3 persen, dan kelima peningkatan generasi muda pertanian,” kata Kepala Biotech Center, Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa. Jika kelima itu terwujud, lanjut dia, serta daulat beras dan bahan pangan pokok lain terpenuhi maka kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani bakal terwujud.
Indonesia, kata Purnama Adil dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sesungguhnya telah mengalami transformasi sistem pangan, pasca UN Food Systems Summit 2021. Dari kerangka regulasi yang ada seperti UU Pangan No. 18 tahun 2012, Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020 – 2024: Transformasi Sistem Pangan Sebagai Salah Satu Prioritas Nasional. Serta Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menuju proses multipihak nasional dan subnasional yang menghasilkan Dialog Sistem Pangan Indonesia.
“Dari situ dilanjutkan dengan Dokumen Strategi Nasional Transformasi Sistem Pangan dan kemudian implementasinya pasca UN Food System Summit 2021,” kata Purnama.
Transformasi sistem pangan nasional di negara kepulauan Indonesia ini, kata Purnama, di antaranya integrasi pangan sehat dan bergizi dengan sistem jaring pengaman sosial. Promosi konsumsi pangan berkelanjutan dan literasi pangan. Inovasi teknologi fortifikasi dan biofortifikasi, pengurangan susut dan limbah pangan dan promosi keamanan pangan. Kemudian, promosi bisnis inklusif dan ekonomi sirkular dalam rantai pasok pangan.
Anggota Komisi IV DPR Luluk Hamidah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia: Kedaulatan dan Keragaman Pangan Nusantara” di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa 6 September 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah menuturkan, saat ini yang menjadi kendala adalah adanya ragam data di Indonesia. “Data beragam, mana yang mau dipakai. Data itu membuat celah. Menjadi punya alasan untuk impor tergantung siapa yang punya kepentingan untuk itu.” Padahal, lanjut dia, ketahanan, kedaulatan, dan pangan adalah hak asasi manusia. “Itu sudah merupakan kewajiban pemerintah terlepas dari kondisi apapun,” katanya. Menurut Luluk, Indonesia membutuhkan pemerintah jujur terutama dalam hal produksi. “Berkali-kali Kementerian Pertanian meyakinkan cukup tapi di kementerian lain beda karena importasi juga jalan.”
Diskusi kali ini dihadiri dan ditanggapi juga diantaranya Peneliti Pangan dari CIFOR Nulia Nurhasan, Drajat Martianto dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Dewan Pengawas Bulog Ahmad Yakub, Imelda Henriete dari IRID, Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Pengamat Pertanian Khudori, Romo Benyamin Daud dari Yaspensel, dan masih banyak lagi, baik dari sisi teknologi, perubahan iklim, maupun pemanfaatan SDGs Desa.
Sementara Direktur Program KEHATI Roni Megawanto menyoroti adanya momen G20 di tahun ini. “Kedaulatan pangan bisa menjadi pembicaraan yang luas paling tidak di Negara G20,” kata dia. Akibat invasi Rusia ke Ukraina, pasokan pangan pun terganggu, terutama gandum. Menurutnya, impor gandum meninggi, dan itu menandakan Indonesia tergantung dengan negara lain sehingga dalam konteks ketahanan pangan terganggu.
Dia pun meminta untuk memperhatikan tiga hal dalam kedaulatan pangan yaitu produksi, konsumsi, dan distribusi. “Produksi, tanaman lokal bisa berkembang. Konsumsi, harus segera di kampanyekan, semakin banyak orang selera mengonsumsi makanan lokal,” kata dia. Sementara distribusi, lanjut dia, semakin pendek jalur distribusi semakin bagus. “Kalau jauh, akan ada karbon footprint. Semakin pendek, bagus, dan murah.”
Pemerintah, kata dia, baik nasional maupun daerah harus lebih progresif dalam mewujudkan kedaulatan pangan dengan regulasi sehingga Indonesia bisa terlepas dari ketergantungan pangan impor. Setidaknya, itulah poin pertama yang disampaikan Moderator Nana Riskhi dari Tempo saat mengakhiri sesi dengan rangkuman FGD.
Kedaulatan pangan, juga mesti mempertimbangkan dampak-dampak dari perubahan iklim sehingga strategi dan penanganan agar mengoptimalkan tanpa merusak lingkungan juga harus dipikirkan upaya untuk mengurangi limbah makanan, serta memperkaya sumber pangan lokal dalam pengembangan food estate. Sedangkan ketiga, kekurangan gizi juga menjadi tantangan di Indonesia terutama di daerah bagian Timur.” (*)