INFO NASIONAL – Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat menurut Peneliti Ekonomi Sawit Wiko Saputra bakal menjadi pertanyaan yang besar. Dikarenakan belum ada kejelasan bisa tidaknya sawit rakyat masuk ke dalam rantai pasok industri BBN terutama biodiesel.
“Jawaban saya sebenarnya sederhana, Kalau political will dan kebijakannya memang ditujukan ke situ. Semua bisa dilakukan. Secara teknologi, hampir semua teknologi mulai dari kapasitas kecil, menengah, atau besar, sudah mapan. Secara bahan baku, sawit rakyat cukup signifikan kontribusinya sekitar 30 persen dari total sawit seluruh Indonesia,” kata Wiko saat menghadiri acara Forum Group Discussion bertema “Prospek Pengembangan Bahan Bakar Nabati Minyak Sawit di Indonesia serta Keterlibatan Petani/Smallholder”, yang diselenggarakan KEHATI dan Tempo, Senin 31 Oktober 2022.
Dia menambahkan, “yang menjadi permasalahan sebenarnya kebijakannya tidak ke situ, kebijakan biodiesel dari pemerintah itu masih pro kepada yang besar. Sehingga yang terjadi ketika kita mendorong pengembangan biodiesel seperti kebijakan B30, posnya gede.” Wiko menjelaskan, pengusaha biodiesel dari sawit tidak banyak yaitu sekitar 19 perusahaan yang jika dikerucutkan hanya enam atau tujuh pengusaha. “Sehingga dominan sekali mereka mempunyai power di pasar.”
Pentingnya mendorong pemberdayaan perkebunan sawit rakyat dalam pengembangan BBN membuat Wiko membuat skenario. Pertama, dana perkebunan sawit sebesar Rp 11,7 triliun digunakan untuk membiayai program yang terkait langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit, program peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit dan lainnya; Skenario kedua, dana perkebunan sawit sebesar Rp 5,85 triliun digunakan untuk membiayai program yang terkait langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit rakyat, program peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit dan lainnya;
Skenario ketiga, dana perkebunan sawit sebesar Rp 11,7 triliun digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel; Skenario keempat, dana perkebunan sawit sebesar Rp 5,85 triliun digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel; Skenario kelima, dana perkebunan sawit sebesar Rp 5,85 triliun digunakan untuk subsidi biodiesel dan sebesar Rp 5,85 triliun digunakan untuk membiayai program yang terkait langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit.
“Ternyata, jika kita gunakan untuk pengembangan sawit, kontribusi ekonominya lebih besar. Sementara semakin kita gunakan dana tersebut untuk biodiesel, kontribusi ekonominya semakin turun,” kata Wiko memaparkan hasil penelitiannya.
Hal itu menurut Wiko bisa terjadi karena ketika insentif diberikan kepada petani, maka banyak masyarakat yang terkena imbasnya. Tetapi jika hanya memberikan insentif kepada pelaku pengusaha, maka yang hanya menikmati pengusaha saja, yang jumlahnya untuk biodiesel tidak banyak.
“Bagaimana dengan sektor-sektor lainnya. Ketika insentif masuk ke petani, sektor lainnya juga terdampak seperti sektor perdagangan, industri juga mengalami peningkatan. Dari sini kita mendapatkan pembelajaran, kebijakan insentif yang diberikan kepada pengusaha UMKM memberikan dampak lebih besar daripada perusahaan besar. Realitas seperti ini yang dibutuhkan, supaya kebijakan ke depan, pemerintah memikirkan, ada kelompok kelompok yang dapat memberikan kontribusi lebih baik,” tutur Wiko.
Dia juga mengkaji terkait Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana dalam RPJMN agenda pengembangan berbasis sawit bahan bakunya dari pemberdayaan sawit rakyat. “Kebijakannya benar, tetapi ketika kita evaluasi di dalam implementasinya banyak yang miss sekali.”
Wiko pun pernah mengedarkan kuesioner kepada para petani sawit rakyat. Hasilnya, hal pertama yang harus diperbaiki adalah Research and Development (RnD). “Mereka butuh riset terkait dengan pengembangan sawit rakyat yang bisa terintegrasi dengan BBN. Itu perlu dukungan dari pemerintah. Ini butuh insentif,” tuturnya.
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Prospek Pengembangan Bahan Bakar Nabati Minyak Sawit di Indonesia" di Gedung Tempo, Jakarta, Senin, 31 Oktober 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Kemudian soal peningkatan produktivitas. Bagaimana tidak hanya meningkatkan produksi namun sistemnya juga harus diperbaiki. “Saya berharap kalau transisi energi bisa berjalan. Kelompok-kelompok ini perlu mendapatkan dukungan yang kuat.”
Menurutnya, BBN dengan skala yang bisa didukung yaitu dengan adanya lokalisasi. “Kita enggak perlu lagi bawa dari Barat ke Timur. Costnya lebih rendah, emisinya juga lebih kecil. Lokalisasi akan menghasilkan emisi yang kecil. Dari sisi ketahanan juga bisa kita dapatkan.”
Direktur Program Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Irfan Bakhtiar menuturkan, sawit rakyat merupakan permasalahan mendasar yang masih jauh dari kata selesai. Jika biodiesel dihasilkan dari CPO yang fresh maka diperlukan intensifikasi dan umumnya dipilih dengan cara replanting. “Masalahnya kalau mau replanting atau peremajaan maka lahan sawit rakyatnya harus legal dulu. Hal yang mendasar ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu.”
Irfan mengatakan, saat ini di lapangan, petani atau pekebun mikro itu masih sebatas produsen tandan buah segar (TBS), belum ada petani produsen crude palm oil (CPO). “Karena mau bikin CPO masih mahal investasinya, investasinya besar.”
Padahal, lanjut dia, jika melihat dokumen RPJMN, sawit rakyat masuk dalam Proyek Strategi Nasional. “Semestinya negara memfasilitasi investasi-investasi untuk prosesing, supaya produksi petani yang hanya TBS itu bisa meningkat.”
Menurut Irfan, sebelum melangkah jauh ke BBN alangkah baiknya untuk mewujudkan pemenuhan minyak konsumsi di skala mikro rakyat terlebih dahulu. Disediakan refinery yang memadai untuk warga bisa memproduksi minyak konsumsinya sendiri. “Syukur-syukur kalau sampai BBN juga diproduksi dan di lokalisasi,” kata dia.
Irfan juga menyarankan untuk tidak menggunakan CPO fresh jika pemerintah serius ingin meningkatkan BBN. CPO yang tersisa, tidak dipakai atau limbah CPO, menurut dia, juga bisa digunakan untuk menjadi bahan baku biodiesel. “Manfaatkan limbah sawit,” kata dia.
Selama ini, kata Irfan, Indonesia sudah mengekspor limbah minyak jelantah untuk dijadikan biodiesel dan bioavtur. “Kenapa kita tidak proses itu sekaligus memperbaiki perilaku hidup kita sendiri. Mengolah sampah, dan sesungguhnya semua terkait.”
Peneliti LPEM FEB UI Riyanto mengatakan, terdapat beberapa alasan pengembangan BBN kelapa sawit perlu melibatkan petani sawit rakyat, terutama petani swadaya. Pertama, selama ini Program Biodiesel (B30) lebih banyak dinikmati oleh Pengusaha Besar. Kedua, produktivitas lahan rendah (2 ton/ha/tahun). Ketiga, sebagian besar lahan perkebunan rakyat tidak bersertifikat atau tidak jelas legalitasnya dan tidak mempunyai sertifikat ISPO atau RSPO. Keempat, petani swadaya memiliki posisi tawar yang lemah di dalam rantai pasok industri minyak kelapa sawit. Kelima, tidak terserapnya seluruh TBS pada tahap pemrosesan CPO di PKS karena masalah kualitas yang tidak memenuhi standar.
Dia lantas memberikan temuan BBN Biohidrokarbon (BBN Bio-H) yang secara teknis sudah bisa diproduksi. Menggunakan katalis Merah Putih yang merupakan temuan dari Prof. Soebagjo (ITB), hal mendasar yang membedakan Biodiesel dan BBN Bio-H adalah kandungan Karbon (C) dan Hidrogen (H) pada BBN Bio-H.
“Jika biodiesel dihasilkan dari CPO, maka Bio-H dihasilkan dari industrial vegetables oil (IVO) atau MIVO yang kemudian diolah oleh katalis,” kata dia. Kemudian, lanjut dia, baik IVO/MIVO maupun Bio-H memiliki sifat fisik dan kandungan asam lemak yang cukup tinggi dibandingkan CPO dan biodiesel. “Hal ini memungkinkan adanya pemanfaatan TBS yang memiliki kadar asam tinggi untuk diolah secara langsung menjadi bahan bakar (Penggunaan TBS dari Petani Swadaya).”
Riyanto memastikan, yang menarik dari Bio-H yaitu bisa dibuat skala kecil, skala kabupaten, sehingga bisa lokalisasi. “Program ini dibuat pada level lokal.” Pada jalur pasoknya, kata Riyanto, Bio-H tidak perlu ke tengkulak dan pabrik kelapa sawit terlebih dahulu, namun bisa langsung ke koperasi atau lembaga tani. “Dari situ langsung ke Pabrik IVO dan Pabrik Bensa.”
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menuturkan, biodiesel harus memberikan dampak positif dalam konteks peningkatan kesejahteraan kepada petani. Menurutnya bermitra dengan petani swadaya sangat diperlukan. Saat ini masih terdapat batas antara petani swadaya dengan koperasi misalnya.
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Prospek Pengembangan Bahan Bakar Nabati Minyak Sawit di Indonesia" di Gedung Tempo, Jakarta, Senin, 31 Oktober 2022. (Foto: Norman Senjaya)
“Sebagai contoh ada satu koperasi, berdiri 4 km dari industri suplier bahan baku B30. Petani tetap jual ke tengkulak padahal koperasi itu jual B30. Ini artinya secara rantai pasok belum ada pelibatan dari para petani sawit itu,” kata Darto.
Menurutnya, sebuah konsep besar agar kelembagaan koperasi petani diprioritaskan di rantai pasok. Industri BBN saat ini harus dipaksa secara regulasi. Peraturan ESDM, masing-masing industri BBN maksimal 10 persen dari industri bahan baku, penyedia BBN harus dari petani swadaya dan itu harus diatur oleh ESDM yang mana peraturannya harus memaksa industri BBN untuk bekerja sama dengan para petani swadaya.
Sementara itu Giovani dari German Watch sempat mempertanyakan Jerman yang akan menyetop penggunaan minyak sawit di tahun 2023, padahal negara ini sebelumnya paling besar menggunakan kelapa sawit. Shahnaz dari Yayasan Madani pun menanggapi, bahwa hal itu terjadi karena Jerman akan menggunakan minyak nabati dari bahan baku lainnya.
Direktur Bioenergi-Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan, Pemerintah telah memberikan dukungan untuk program biodiesel. Dari sisi kecukupan pasokan biodiesel, kapasitas produksi terpasang 17,2 juta kL. Sementara insentif diberikan pemerintah melalui BPDPKS. Pemerintah juga menyiapkan dukungan kebijakan untuk menjamin sustainability program.
Dari sisi monitoring dan evaluasi (Monev), pemerintah dan stakeholder telah melakukan secara periodik. Untuk menjaga kualitas, Standar Nasional dan Petunjuk Teknis telah disediakan. Sementara untuk mendukung pencampuran dan penyaluran biodiesel disiapkan infrastruktur.
Edi mengatakan, pengembangan biofuels ke depan, tidak terbatas pada biodiesel namun juga Bioethanol, Bioavtur, HVO. Pengembangan juga tidak terbatas pada perusahaan skala besar tetapi didorong berbasis kerakyatan. Sementara spesifikasi disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. “Selain itu, pemanfaatan by product biodiesel. Pemanfaatan hasil sawit non-CPO, serta mengembangkan advance technology biofuels.”
Ragam upaya pun, kata Edi, telah dilakukan Kementerian ESDM dalam mendukung pengembangan bensin sawit yaitu menyusun spesifikasi teknis dari produk, bensin sawit. menyiapkan regulasi terkait pemanfaatan bensin sawit (Tata Kelola dan Tata Niaga; HIP; serta insentif), memfasilitasi dan koordinasi antar stakeholder termasuk fasilitasi terkait off-taker produk IVO ke PT Pertamina (Persero), berkoordinasi dengan stakeholders untuk mempersiapkan fasilitas pendukung (sarana /prasarana).
Edi mengatakan, biofuels telah memberikan kontribusi dalam bauran Energi Nasional. “Realisasi Energi Baru Terbarukan pada Bauran Energi Nasional tahun 2021 yaitu 12.16 persen, 36 persen dari realisasi tersebut berasal dari pemanfaatan B30.”
Manager Program Ekosistem Hutan KEHATI Rio Bunet menyimpulkan terkait demokratisasi ekonomi, seharusnya pemerintah bisa melihat sektor-sektor atau potensi lain dari BBN. Indonesia adalah negara yang kaya biodiversity. Sehingga jangan takut mencoba mengeksplor sumber daya lain. Inovasi teknologi untuk bahan baku non sawit sesungguhnya juga mempunyai peluang.
Adanya temuan inovasi teknologi yang diintegrasikan dengan skema pemberdayaan petani, kata Rio, bisa terjadi kalau melihat peluang BBN sawit ini bisa dikembangkan dengan skema-skema pemberdayaan yang kompetitif.
Prioritas nasional untuk BBN berbasis sawit harus diperjelas kembali antara ketahanan pangan dan ketahanan energi. Agar tidak terjadi ekspor besar-besaran. “Pemerintah juga perlu mengatur regulasi. Kebijakan BBN ini setidaknya harus memaksa kolaborasi dengan para stakeholder.”
Sementara itu, lanjut Rio, sambil menunggu UU EBT digodok harapannya desentralisasi sistem energi bisa dikembangkan sesuai dengan potensi sumber bahan bakar nabati lokal yang beragam.“Sedangkan soal tarik menarik antara bioenergi dengan elektrifikasi, kita melihat banyak peluang yang bisa dikembangkan dari sawit dan sumber bahan nabati lainnya dalam masa transisi energi ini.”