TEMPO.CO, Jakarta -Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Agus Supriatna tidak hadir pada panggilan pemeriksaan di kasus korupsi Heli AW-101. Sama dengan Agus, Marsekal Muda Purnawirawan Supriyanto Basuki juga tidak hadir pada panggilan pemeriksaan, Kamis, 8 September 2022. “Keduanya tidak hadir,” kata juru bicara KPK Ali Fikri, Jumat, 9 September 2022.
Ali tak menjelaskan alasan keduanya tidak hadir. Dia mengatakan KPK akan menjadwalkan ulang pemeriksaan ini. KPK, kata dia, akan segera mengirimkan surat panggilan lagi. Dia mengimbau agar Agus dan Supriyanto dapat hadir pada panggilan kedua tersebut.“Keterangan kedua saksi ini dibutuhkan dalam proses penyidikan, sehingga menjadi lebih jelasnya perbuatan tersangka,” kata Ali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Irfan Kurnia Saleh alisa John Irfan Kenway menjadi tersangka. Dia merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri yang menjadi tersangka tunggal kasus tersebut. Sebelumnya, sejumlah prajurit TNI AU turut menjadi tersangka di kasus ini. Namun, pihak TNI menghentikan penyidikan dengan alasan kekurangan alat bukti.
KPK telah menahan Irfan pada 24 Mei 2022. Kasus ini bermula pada Mei 2015 ketika Irfan dan pegawai perusahaan AgustaWestland Lorenzo Pariani bertemu Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Pertemuan itu membahas pengadaan Helikopter AW 101 VIP atau VVIP TNI Angkatan Udara. Irfan selaku agen AW diduga memberikan proposal pada Syafei dengan mematok harga US$ 56,4 juta per unit helikopter. Padahal antara Irfan dengan pihak AW, telah disepakati harga per unitnya, yaitu US$ 39,3 juta atau Rp 514 miliar.
Sempat tertunda, rencana pengadaan helikopter ini berlanjut pada 2016 dengan nilai kontrak Rp 738 miliar. Lelang pengadaan hanya diikuti oleh 2 perusahaan, salah satunya milik Irfan. Dalam tahapan lelang, diduga panitia tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan untuk menghitung Harga Perkiraan Sendiri.
KPK menduga Irfan aktif melakukan komunikasi dan melakukan pembahasan secara khusus dengan Pejabat Pembuat Komitmen proyek ini, Fachri Adamy. KPK menengarai proses lelang telah diakali, sehingga perusahaan Irfan bisa menjadi pemenang .
KPK juga menyangka Irfan sudah mendapatkan bayaran 100 persen, padahal belum menyelesaikan beberapa item pekerjaan. Selain itu, beberapa item pekerjaan diduga tidak sesuai spesifikasi seperti tidak dipasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda. Akibat korupsi ini, negara rugi Rp 224 miliar.
Baca Juga: Dugaan Korupsi Heli AW-101 Dihentikan Puspom TNI, Panglima: Saya Masih Pelajari