TEMPO.CO, Jakarta - Pada Sabtu, 3 September 2022, pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak untuk jenis solar, pertalite, dan pertamax.
Merespons kabar tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada alias BEM KM UGM menilai bahwa pemerintah telah lepas tangan.
“Melalui kebijakan ini, pemerintah seakan-akan bertindak ‘lepas tangan’ dan justru mengalihkan beban yang seharusnya ditanggung (oleh pemerintah) kepada masyarakat,” tulis BEM KM UGM dalam akun resmi Instagram-nya di @bemkm_ugm pada hari Senin, 5 September 2022.
Inkonsistensi Kebijakan Populis Dinilai Berbahaya
Dalam unggahan tersebut, BEM UGM menyoroti bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki kecenderungan untuk melakukan tarik-ulur kebijakan populis terkait harga BBM.
Apabila merujuk artikel berjudul Implementasi Kebijakan Populis di Provinsi DKI Jakarta karya Hutari dan Paskarina pada tahun 2019, kebijakan populis merupakan kebijakan yang berupaya memenuhi tuntutan atau kebutuhan sekelompok masyarakat.
BEM UGM menilai bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak populis saat ini, yaitu harga BBM naik, agar kelak saat menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu, pemerintah dapat menerbitkan kebijakan populis guna menggaet suara dan perhatian publik.
BEM UGM mencontohkan bahwa pemerintah pernah menaikkan harga BBM jenis premium pada 2014 dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Akan tetapi, harga BBM jenis premium langsung diturunkan pada 1 Januari 2015 atau kurang dari setahun setelah pelaksanaan pemilu menjadi Rp 7.600 per liter.
Efek Domino Kenaikan Harga BBM
Selain menduga bahwa kenaikan harga BBM merupakan siasat politis untuk pemilu pada masa mendatang, BEM UGM juga menjelaskan mengenai efek domino yang akan diterima oleh masyarakat apabila harga BBM naik.
Dalam unggahan tersebut, BEM UGM menilai bahwa kenaikan harga BBM sangat berbahaya di tengah kenaikan harga pangan atau masa akhir tahun. BEM UGM mengutip data dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa harga pangan saat ini telah meningkat hingga 10 persen.
Kemudian, BEM UGM juga memaparkan hasil riset Bank Mandiri yang menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM saat ini bisa meningkatkan inflasi hingga sebesar 8 persen.
Selain itu, harga BBM naik juga diprediksi akan membebani pengeluaran kelompok masyarakat termiskin hingga 6,8 persen, sedangkan kelompok masyarakat terkaya pengeluarannya diprediksi hanya meningkat sampai 5,2 persen.
Tuntutan BEM UGM terkait Harga BBM Naik
Berdasarkan data dan analisis tersebut, BEM KM UGM setidaknya mengajukan tiga poin tuntutan dan solusi atau pembenahan bagi pemerintah pada masa mendatang.
Pertama, BEM UGM menyarankan pemerintah untuk berfokus memastikan kuota BBM subsidi tidak habis pada akhir tahun alih-alih melakukan kenaikan harga BBM secara langsung. BEM UGM memberi alternatif untuk membatasi pembelian solar dan pertalite hanya kepada roda dua dan angkutan umum.
Kedua, BEM UGM meminta pemerintah untuk tidak mempetimbangkan aspek ekonomis belaka, tetapi juga kesejahteraan. BEM UGM menuliskan bahwa peran pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara atau BUMN perlu memastikan adanya penerapan prinsip ketersediaan dan keadilan alih-alih bisnis (business as usual) semata.
Ketiga, BEM UGM meminta pemerintah untuk tidak hanya fokus pada parameter makro atau memutuskan kebijakan dengan dalih kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saja. BEM UGM menegaskan bahwa prioritas pemutusan kebijakan yang berlandaskan realitas dan kepentingan masyarakat perlu menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN
Baca: Mahasiswa UGM Tolak Kenaikan BBM
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.