TEMPO.CO, Jakarta - Ketua SETARA Institute Hendardi menyatakan bahwa penegakan hukum dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat harus adil, tidak pandang bulu, dan transparan. Mengingat kasus ini juga melibatkan sejumlah personel Polri yang diduga tidak profesional dalam mengusut kematian bintara itu di rumah dinas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
“Hal ini penting untuk memastikan tidak terjadi demoralisasi terhadap anggota Polri,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 16 Juni 2022.
Hendardi mengatakan, anggota yang diduga melanggar etik dapat dijerat pidana apabila terbukti terlibat dengan peristiwa itu. Tetapi penjeratan pidana itu mesti dilakukan berhati-hati dan bertanggung jawab, serta terbuka tentang tindak pidana yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
“Banyak dari anggota yang sebenarnya hanyalah korban skenario di awal kasus ini muncul,” katanya.
Dia menuturkan penting untuk mempertimbangkan kondisi mental dan moral anggota serta kewibawaan institusi. Maka dugaan sangkaan atau pernyataan tidak profesional anggota mesti dipertimbangkan matang dan memiliki dasar fakta awal.
Apalagi menyangkut personel Polres Metro Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya, dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Juga kecenderungan penerapan dugaan dan sanksi etik ini secara tidak transparan dapat menuai prasangka pemanfaatan untuk interest tertentu maupun upaya menyudutkan pihak-pihak tertentu secara unfair,” tuturnya.
Seyogianya, kata Hendardi, setiap proses pemeriksaan hukum atau etik dapat diinformasikan secara bertahap dan terbuka untuk menghindari prasangka dan membuktikan proses yang akuntabel. Termasuk juga melibatkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam pengawasan sesuai kewenangannya sebagaimana diatur Pasal 9 ayat G dan F Perpres 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.