TEMPO.CO, Jakarta - Citayam Fashion Week tengah menyedot banyak perhatian karena menjadi rebutan sejumlah pihak untuk dipatenkan. Hal itu terlihat dari didaftarkannya Citayam Fashion Week sebagai sebuah merek ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM oleh Baim Wong dan Indigo Aditya Nugroho. Keduanya kini dikabarkan telah menarik permohonan tersebut.
Terbaru, pendaftaran juga dilakukan oleh Daniel Handoko Santoso, seorang warga Sukoharjo. Berdasarkan pantauan Tempo, hingga artikel ini dipublikasikan, permohonan tersebut statusnya tengah dalam proses. Lantas apa itu Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan bagaimana sejarah dan perkembangannya hingga saat ini?.
Mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), HAKI adalah hak untuk memperoleh perlindungan atas kekayaan intelektual. Peraturan yang mengatur hak atas karya cipta ternyata telah ada sejak masa pendudukan Belanda.
Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia telah ada sejak pemerintah Kolonial Belanda pada 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan dua aturan mengenai merek dan hak cipta yakni UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, dan UU Hak Cipta pada 1912.
Saat itu, Indonesia masih bernama Netherlands East-Indies. Indonesia telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak 1914. Aturan-aturan tersebut masih berlaku ketika masa penjajahan Jepang.
Masa Awal Kemerdekaan hingga Orde Lama
Pada awal kemerdekaan, UU Hak Cipta dan UU peninggalan Belanda dinyatakan tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.
Hal itu lantaran dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia, yang kini telah berubah nama menjadi Jakarta. Namun pemeriksaan atas permohonan paten mesti dilakukan di di Belanda.
Kemudian, pada 1953, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan dua pengumuman, yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten. Kedua pengumuman itu meliputi Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Pada 11 Oktober 1961, pemerintah mengundangkan UU Nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan atau UU Merek 1961 untuk menggantikan UU Merek peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
UU Merek 1961 merupakan Undang-undang pertama di Indonesia di bidang hak kekayaan intelektual. UU ini mulai berlaku pada 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan atau bajakan.
Saat ini, setiap 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU Merek 1961 telah ditetapkan sebagai Hari Kekayaan Intelektual Nasional.
Masa Orde Baru
Pada 12 April 1982, pemerintah mengesahkan UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 ini bertujuan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Pada 23 Juli 1986, Presiden Soeharto membentuk tim khusus bidang hak kekayaan intelektual melalui Keputusan Presiden Nomor 34/1986, yang dikenal sebagai Tim Keppres 34. Masa itu bisa dibilang sebagai awal era modern sistem hak kekayaan intelektual Indonesia.
Tim Keppres 34 membuat sejumlah terobosan, antara lain mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten. Usai Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten, yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 pemerintah mengesahkan UU Paten.
Lalu, pada 19 September 1987, pemerintah mengesahkan UU Nomor 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU Nomor 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Menyusul pengesahan UU Nomor 7 tahun 1987, pemerintah menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada 1988, berdasarkan Keppres Nomor 32 dibentuk Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta, yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.
Pada 13 Oktober 1989, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU Nomor 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) pada 1 November 1989. UU Paten 1989 ini mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.
Kemudian, pada 28 Agustus 1992, pemerintah mengesahkan UU Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek 1961. Pada 15 April 1994 pemerintah menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Tiga tahun setelahnya, yakni pada 1997, pemerintah merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual, yaitu UU Hak Cipta 1987 juncto UU Nomor 6 Tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Era Reformasi
Memasuki era Reformasi, pemerintah mengesahkan tiga UU baru di bidang kekayaan intelektual pada 2000. Ketiga UU tersebut yakni UU Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Guna menyelaraskan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual dengan Persetujuan TRIPS, pada 2001 pemerintah mengesahkan UU Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.
HATTA MUARABAGJA