TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 25 Juli 1925, merupakan kelahiran Sarwo Edhie Wibowo. Dia adalah Panglima Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD, kini Kopassus, pemimpin penumpasan G30S. Selain itu, Sarwo Edhie merupakan ayah Kristiani Herrawati, istri Presiden ke-5 Susilo Bambang Yudhoyono.
Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang perwira tinggi militer TNI AD. Puncak perjuangan karier Sarwo Edhie adalah ketika ditunjuk sebagai komandan RPKAD. Dia berhasil menumpas gerakan 30 September yang mengancam kekuasaan negara yang sah. Mengutip buku Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit oleh Alberthiene Endah, sifat kepahlawanan yang dimiliki Sarwo Edhie bagai diturunkan dari leluhurnya.
Ayah Sarwo Edhie, Raden Kartowilogo, merupakan kepala kantor pajak Purworejo pada masa kolonial Belanda. Raden Kartowilogo mempunyai sikap dan prinsip dalam anti tunduk kepada Belanda. Sedangkan ibundanya, Raden Ayu Sutini, adalah keturunan bangsawan yang menjadi laskar Pangeran Diponegoro, sebagaimana dikutip dari buku Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan oleh Bahrudin Supardi.
Sarwo Edhie Wibowo, dari Desa Pangen Menjadi Komandan RPKAD
Sarwo Edhie terlahir dari keluarga yang sederhana di Desa Pangen Juru Tengah, Jawa Tengah. Sebenarnya Sarwo Edhie lahir pada 1927. Namun tanggal kelahirannya yang tercatat adalah 25 Juli 1925. Dia sengaja mengubah tahun kelahirannya saat mendaftar sebagai Heiho atau tentara pada masa pendudukan Jepang. Usainya baru 15 kala mendaftar, karena syarat minimal masuk Heiho adalah 17 tahun, Sarwo Edhie mengubah tahun kelahirannya menjadi 1925.
Pada zaman kolonial Belanda, tak semua kalangan pribumi bisa mendapatkan pendidikan. Karena ayahnya sebagai pegawai sipil, Sarwo Edhie berkesempatan mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School atau HIS, setara sekolah dasar. Ini adalah sekolah yang pada umumnya hanya untuk anak-anak pejabat desa. Setelah menamatkan pendidikannya di HIS, Sarwo Edhie melanjutkan sekolah di Meer Uitgebried Lager Oderwijs atau MULO atau setingkat pendidikan menengah pertama.
Awalnya Sarwo Edhie berkeinginan menjadi seorang pegawai sipil seperti ayahnya. Namun dia tertarik dengan dunia militer setelah melihat tentara Jepang. Setamat dari MULO, Sarwo Edhi ikut mendaftar menjadi anggota Seinendan atau Barisan Pemuda. Seinendan adalah barisan rakyat atau tentara cadangan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang di Indonesia, dikutip dari encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Kemudian Sarwo Edhie diangkat sebagai komandan Seinendan oleh teman-temannya di Purworejo. Dia memimpin pemuda di kampungnya yang beranggotakan 40 orang.
Pengalamannya sebagai Seinendan menambah keinginannya untuk menjadi tentara sungguhan. Kemudian pada 1942 Sarwo Edhie membaca iklan di surat kabar tentang pendaftaran tentara oleh Jepang. Jepang memanggil pemuda-pemuda, termasuk dari Seinendan untuk mengikuti latihan dan dididik menjadi prajurit Heiho. Jepang menganggap, Heiho lebih terlatih di dalam bidang militer daripada tentara Pembela Tanah Air atau PETA.
Menukil Majalah Tempo Edisi Khusus, Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, Sarwo Edhie pun langsung mendaftarkan diri menjadi tentara Heiho. Edhie ikut bersama kakak pertamanya, Murtogo, ke Surabaya, tempat dilaksanakannya pelatihan tentara Heiho. Pendidikan Heiho di Surabaya berlangsung kurang lebih 5 bulan. Sarwo Edhie kemudian dipindahkan ke Renseitai Magelang. Namun dia tak lama menjalani pelatihan di Magelang karena harus mengikuti pelatihan calon perwira tentara PETA di Bogor.
Dari 450 orang siswa Renseitai Magelang terpilih 125 orang, termasuk Sarwo Edhie dan Ahmad Yani. Ahmad Yani merupakan pemuda asal Purworejo, sama seperti Sarwo Edhie, namun berbeda daerah. Sarwo Edhie dari Desa Pangen Juru Tengah, Purworejo, sementara Ahmad Yani dari desa Ngrendeng, Gebang, Purworejo. Setelah menjalani latihan militer di Bogor, Sarwo Edhie menjadi salah satu lulusan Shodanco atau Letnan Dua) terbaik, karena itu ia memperoleh pedang samurai yang agak berbeda. Saat pelantikan, dia Sarwo Edhie sebagai Shodancho mendapatkan tugas di daerah Tuguran, Magelang.
Kendati Jepang berjasa memberikan pelatihan-pelatihan militer terhadap pemuda Indonesia, di sisi lain Jepang juga mengerahkan rakyat pribumi dari semua umur untuk dijadikan pekerja keras atau romusha. Para romusha ini digunakan pemerintah Jepang untuk membantu militer dalam melawan Sekutu selama Perang Pasifik. Mereka dikerahkan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, gudang senjata, jalan raya, dan lapangan udara, serta pekerjaan berat lainnya.
Namun, para romusha ini tidak dibayar sepeser pun oleh pemerintah Jepang. Tidak sedikit pula para romusha yang menjadi korban. PBB menyatakan bahwa 4 juta orang meninggal di Indonesia akibat pendudukan Jepang, seperti dikutip dari Laporan John W Dower, War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War. Selain itu, Pierre Van der Eng, dalam laporannya pada 2008, Pasokan Pangan di Jawa Selama Perang dan Dekolonisasi, 1940-1950, mengungkapkan sekitar 2,4 juta orang meninggal di Jawa karena kelaparan selama penjajahan Jepang, era 1944–1945.
Keadaan ini membuat anggota tentara PETA merasa terpukul melihat saudara-saudaranya diperlakukan di.luar batas kemampuan. Sarwo Edhi dan rekan-rekannya tidak mengira pemerintah Jepang semakin lama memanfaatkan rakyat pribumi secara sewenang-wenang. Perasaan kagum dan bangga terhadap tentara Jepang yang pernah Sarwo Edhie miliki mulai menghilang berganti rasa benci. Kemudian timbul berbagai peristiwa pemberontakan yang menyebabkan pembubaran PETA oleh Jepang.
Jepang membutuhkan banyak tentara untuk menghadapi Sekutu. Jepang tak bisa menahan berbagai tekanan dari serangan Sekutu. Pada 1945 kota Nagasaki dan Hiroshima di bom. Akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pejuang kemerdekaan Indonesia langsung mempersiapkan proklamasi kemerdekaan setelah kabar penyerahan Jepang tersiar. Menjelang proklamasi kemerdekaan, Sarwo Edhie kembali ke Purworejo dan berkumpul dengan anggota pasukannya.
Sarwo Edhie diajak Ahmad Yani, sesama mantan anggota PETA, bergabung dalam Batalion III Badan Keamanan Rakyat atau BKR. Batalion III BKR yang dikomandani Ahmad Yani ini dibentuk di kota Magelang. Sarwo Edhie bertugas membawa senjata mortir dalam batalion tersebut. Setelah pemerintah Indonesia meresmikan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat atau TKR, Sarwo Edhie mendapat pangkat Kapten dalam barisan TKR. Pangkat Kapten ini merupakan pangkat ketentaraan yang paling lama disandang Sarwo Edhie. Dia menjadi Kapten selama kurang lebih sepuluh tahun.
Saat Ahmad Yani membentuk batalion Batalion V Brigade IX Divisi Diponegoro, Sarwo Edhie kemudian diangkat menjadi Komandan Kompi Batalion tersebut. Dia memimpin pasukannya dari Purworejo, Magelang, Ambarawa, hingga Semarang. Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak melakukan penyerangan dan mendesak mundur tentara Inggris hingga Magelang. Sampai pada akhirnya tentara Inggris dapat dikepung oleh tentara TKR di Semarang.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pada 1949 Sarwo Edhie dan Sunarti menikah dalam kondisi serba sederhana. Mereka kemudian lalu rumah dari Purworejo ke Magelang menempati rumah orang tua Sunarti hingga memiliki anak pertama, Wijiasih Cahyasasi. Hingga 1960, Sarwo Edhie sudah memiliki lima anak, yaitu Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono), Mastuti Rahayu, Pramono Edhie Wibowo, dan Retno Cahyaningtyas.
Sarwo Edhie diangkat menjadi Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Naional (AMN) sekitar tahun 1958-1959. Resimen Taruna AMN merupakan sekolah militer yang memberikan pelatihan keras kepada para anggotanya. Sekolah ini berada di Bogor. Pada 1959, Ahmad Yani merekomendasikan Sarwo Edhie menjadi Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat atau SPKAD. Hal ini mengharuskan Sarwo Edhie bersama keluarganya pindah ke Cimahi karena SPKAD berada di daerah Batujajar. Sarwo Edhie pun dilantik menggantikan Kapten Wijogo Atmodarminto.
Karier militer Sarwo Edhie semakin menanjak ketika Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat mengangkatnya menjadi Kepala Staf RPKAD. Kemudian pada awal 1963 Sarwo Edhie menempuh pendidikan staf di The Australian Army’s Staf College di Australia, selama 18 bulan. Setelah kembali ke Indonesia, Sarwo Edhie pada Februari 1966 oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani resmi ditetapkan menjadi Komandan RPKAD. Dia enggantikan Kolonel Moeng Parhadimoeljo hingga 1967.
Kemudian pada 1967 hingga 1968 Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai Pangdam II/Bukit Barisan. Dia juga pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Tjenderawasih pada 1968 hingga 1970. Kemudian pada 1970 hingga 1974, mertua ini menjadi Gubernur AKABRI.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Letkol Untung Rebut RRI, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo Turun Tangan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.