TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis dari Save Sangihe Island Jull Takaliulang mengatakan pihaknya akan mendatangi Mabes Polri untuk menjelaskan dugaan kriminalisasi kepada Robinson Saul, salah satu warga yang ikut dalam aksi penolakan tambang mas Sangihe. Menurut Jull, Robinson tidak semestinya ditangkap karena salah paham.
“Kami berusaha, makanya kami akan ke Mabes Polri untuk menjelaskan sejelas-jelasnya sehingga kalau mau melakukan penindakan secara hukum atau penegakan hukum lingkungan, betul-betul itu harus adil untuk semua,” ujarnya saat dihubungi, Ahad, 3 Juli 2022.
Jull mengatakan, pihaknya ingin langsung mendatangi Mabes Polri karena ada dianggap sudah darurat. Mengenai konsultasi ke Polda Sulawesi Utara, Jull enggan ke sana lagi karena ada laporan tahun lalu soal tambang ilegal yang diduga belum ada perkembangan.
“Kami sudah pernah datang di Polda pada 28 Oktober 2021 dengan massa, bawa laporan, untuk diterima di SPKT, tanda tangani surat, tapi kemudian tidak ada follow up dari Polda,” tuturnya.
Mengenai waktu mendatangi Mabes Polri, Jull masih belum memastikan karena masih mengurus berkas yang diperlukan. Selain itu teman-temannya dari Save Sangihe Island akan menyurati secara resmi lebih dulu agar bisa melakukan audiensi.
Jull mengatakan, pihaknya sudah pasrah soal posisi Robinson yang saat ini sedang di tahan di Polres Kepulauan Sangihe. Dia mengatakan, Robinson hanya bisa menghadapi kondisinya sekarang di tahanan.
“Kami sendiri sudah hopeless kalau melihat sikap dari Polres Sangihe seperti itu,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Robinson mendapat surat panggilan dan ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Juni 2022 oleh Polres Kepulauan Sangihe. Dia datang seorang diri, diperiksa, dan langsung ditahan saat itu juga.
Koordinator Save Sangihe Island, Alfred Pontolodo menduga polisi menyangka Robinson membawa senjata tajam saat aksi penghadangan mobilisasi alat berat dari PT Tambang Mas Sangihe (TMS) pada 13 Juni 2022 lalu.
Polisi menuduh Robinson telah melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Pasal 2 ayat 1 terkait tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata tajam.
Alfred menganggap tuduhan polisi mengada-ada dan tidak melihat kondisi secara bijak. Dia memang membenarkan Jull membawa pisau, namun itu adalah benda pusaka dari mertua laki-laki Robinson sebagai alat penunjang selama melaut.
Keterlibatan Robinson dalam aksi sejak 13-16 Juni kemarin berlangsung secara spontan setelah keluar dari kapal sedari melaut. Pisau itu tidak digunakan untuk mengancam siapapun, namun diduga jatuh saat aksi berlangsung.
“Penetapan Robinson sebagai tersangka jelas bukan tindak pidana. Sebab, yang dibawa Robinson itu bukan senjata tajam, melainkan alat yang digunakan sehari-hari untuk mencari nafkah sebagai nelayan,” tutur Alfred
Langkah polisi, kata Alfred, diduga sebagai upaya menekan perlawanan warga yang menolak kehadiran tambang milik PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Dia menduga polisi justru membela kepentingan perusahaan tambang, yang menurut Alfred dari pengawalan mobilisasi alat berat milik perusahaan tersebut.
Sebelumnya warga Kepulauan Sangihe memenangkan gugatan yang mereka ajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Dalam putusannya, PTUN Manado membatalkan Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Emas PT TMS. Keputusan tersebut dibacakan pada Kamis, 2 Juni 2022.
PT TMS sendiri disebut mengantongi izin untuk mengekspolitasi Pulau Sangihe dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Januari 2022. Akan tetapi, penolakan terhadap keberadaan perusahaan itu sudah berjalan selama satu tahun lebih.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bahkan sempat mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi agar aktivitas pertambangan di pulau yang berbatasan langsung dengan Filipina itu dihentikan.
Baca: Warga Penolak Tambang Mas Sangihe Disebut Dikriminalisasi