TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengecam langkah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama pemerintah yang mengesahkan tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru Papua. Tiga aturan itu adalah RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan pada 30 Juni 2022.
"Pengesahan ini tentu bentuk pemaksaan kehendak pemerintah, sebab proses legislasi UU tersebut tidak melalui prosedural yang sah," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar lewat keterangan tertulis, Jumat, 1 Juli 2022.
Rivan mengatakan pengesahan dilakukan dengan proses yang ugal-ugalan dan tidak partisipatif. Padahal, aturan itu ditolak dengan masif oleh masyarakat Papua. "Hal ini tentu saja akan menambah besar luka Orang Asli Papua," kata dia.
Rivan mengatakan pemerintah dan DPR tidak membuka ruang dialog secara maksimal utamanya terhadap orang asli Papua. Pengesahan DOB ini, kata dia, juga tidak pernah mendapatkan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua.
Menurut dia, hal itu bertentangan dengan Pasal 76 UU Otonomi Khusus yang memandatkan bahwDRa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Dia mengatakan proses pemekaran atau pembentukan DOB ini juga seharusnya dibahas secara mandalam sebab akan berimplikasi pada seluruh masyarakat Papua. Baik dalam tataran administrasi, kewilayahan, kependudukan, kesejahteraan dan kesiapan penyelenggaraan daerah.
"Terlebih masalah struktural Papua belum juga dapat diselesaikan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia," kata dia.
Rivan mengkhawatirkan bahwa pemberlakuan DOB ini justru akan menambah masalah di lapangan.
KontraS, kata dia, mencurigai bahwa pemekaran ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi bisnis dan terhambatnya arus investasi di Papua. Selama ini, kata dia, di berbagai lokasi seperti Kabupaten Intan Jaya disinyalir memiliki kekayaan alam melimpah sehingga sangat menggiurkan untuk dieksploitasi.
Sayangnya, kata dia, jejak pertambangan selama ini kerap kali mendapatkan penolakan dari berbagai pihak termasuk warga setempat, Bupati hingga Gubernur. "Pemecahan wilayah tentu saja dapat dijadikan sebagai siasat untuk memperlancar aktivitas pertambangan tersebut," kata dia.
Baca juga: DOB Papua Baru Disahkan, Konflik Perebutan Ibu Kota Sudah Terjadi