TEMPO.CO, Jakarta - Hoegeng Iman Santoso adalah mantan Kapolri yang dikenal sebagai polisi sederhana, jujur, dan tak kenal kompromi. Selama menjabat sebagai pimpinan tertinggi Polri, Jenderal Hoegeng seringkali mendapatkan tawaran gratifikasi hingga suap. Namun, ia secara tegas menolaknya.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2021, anak kedua Hoegeng, Aditya Sutanto, berkisah suatu hari Meriyati, ibunya, menerima panggilan telepon dari Sihwati Nawangwulan. Sihwati merupakan istri dari mantan Menteri Luar Negeri yang tengah menjabat menjadi Duta Besar Perserikatan Bangsa-bangsa, Roeslan Abdulgani.
Kala itu, Sihwati menyampaikan bahwa polisi tak kunjung menemukan mobil merek Mercedes-Benz miliknya yang raib beberapa waktu lalu. Meriyati pun menyampaikan keluhan ini kepada Hoegeng.
Kurang dari seminggu, mobil milik Sihwati akhirnya berhasil ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat. Tak lama setelah itu, ketika Hoegeng baru saja pulang dari kantornya, Meriyati melaporkan bahwa ia mendapatkan bungkusan yang berisi kalung emas seberat 5 gram dari Sihwati. Hoegeng pun langsung menghubungi istri Roeslan tersebut. Dia mengucapkan terima kasih dan berkata akan mengembalikan pemberiannya.
Pada lain kesempatan, pagi-pagi buta Hoegeng juga pernah disambangi seorang wanita ke rumahnya yang berada di Jalan Prof. Moh. Yamin Nomor 8 (dulu bernama Jalan Madura), Menteng, Jakarta Pusat. Wanita berketurunan Tionghoa itu menanyakan kepada Hoegeng perihal mobil Mercedes yang diberikannya. “Mobil yang mana?” tanya Hoegeng seperti dikutip dari buku autobiografinya.
Wanita itu pun menjelaskan bahwa ia telah meminta bantuan pada seorang laki-laki yang mengaku memiliki kedekatan dengan Hoegeng untuk menyelesaikan masalah piutang yang tidak tertagih. Laki-laki itu meminta sang wanita membelikan mobil yang disebut akan diberikan kepada Hoegeng.
“Ini orangnya?” kata Hoegeng sembari memperlihatkan foto seorang pria dari buku hitamnya. Buku tersebut berisi nama dan foto orang-orang yang dicurigai kerap membuat perkara. Melihatnya, wanita itu menganggukan kepala. Pria itu akhirnya diringkus di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, ketika akan terbang ke Singapura.
Pada kisah lain, Hoegeng saat itu baru saja didaulat menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara pada 1956. Penunjukan itu merupakan amanah dari Jaksa Agung Soeprapto, kolega ayah Hoegeng, Soekarjo Kario Hatmodjo. Hoegeng sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara Kepolisian Jawa Timur periode 1952-1955.
Kabar kepindahan Hoegeng itu rupanya sudah terendus oleh cukong-cukong Medan. Baru saja tiba di Pelabuhan Belawan, salah seorang cukong yang mengaku sebagai “ketua panitia selamat datang” menyambutnya dan mengatakan segala “kebutuhan” Hoegeng telah disiapkan. Kebutuhan yang dimaksud itu meliputi sebuah rumah dan satu unit mobil. Hoegeng menolak pemberian itu dan meminta cukong itu untuk menyimpannya.
Usai dua bulan menginap di Hotel De Boer, Hoegeng bertolak ke rumah dinas di Jalan Abdul Rivai Nomor 26. Ketika tiba, ia mendapati ada sejumlah barang mewah di dalam rumah meliputi piano, lemari, meja dan kursi tamu, radio, kulkas, serta dipan jati. Menurut anak Hoegeng, Aditya Sutanto, barang-barang itu merupakan pemberian dari cukong yang dulu menyambutnya di Belawan.
Hoegong murka. Ia pun mengultimatum sang cukong, memberinya waktu tiga jam untuk segera mengeluarkan barang-barang mewah tersebut dari rumahnya. Tak juga mendapat respons setelah tiga jam berlalu, ia pun menyuruh anak buahnya mengangkut dan meletakkan barang-barang itu di pinggir jalan.
Eks jurnalis Sinar Harapan, Panda Nababan, yang kala itu masih duduk di bangku SMA, menjadi saksi atas peristiwa itu. “Medan gempar. Orang-orang bilang Pak Hoegeng gila, dapat rezeki malah ditolak,” ujar Panda kepada Tempo. Barang-barang itu kemudian dicomoti oleh orang-orang yang melintas.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Kapolri Jadikan Jenderal Hoegeng Teladan: Jujur, Sederhana, Tak Kenal Kompromi