TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai lulusnya Remigius Sigid Tri Hardjanto pada seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI melanggar aturan profesionalisme Polri. Pengurus LBH Jakarta Teo Reffelsen mengkhawatirkan adanya intervensi lebih lanjut dalam sistem hukum di Indonesia dengan para pejabat Polri menduduki berbagai posisi strategis.
Teo menyatakan bahwa lulusnya Remigius Sigid itu melanggar Undang-Undang Polri. Mengutip pasal 28 ayat 3, dia menyatakan bahwa anggota kepolisian aktif baru boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 ayat (3), yaitu Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian,” kata Teo dalam keterangannya, Rabu, 1 Juni 2022.
Nama Remigius Sigid Tri Hardjanto masuk ke dalam daftar calon anggota yang lulus seleksi administrasi. Panitia Seleksi sebelumnya juga mengumumkan 50 calon yang lolos tes tertulis dan penulisan makalah.
“Satu-satunya peserta seleksi yang memiliki latar belakang Anggota Polri adalah Irjen. (Pol.) Remigius Sigid Tri Hardjanto yang merupakan perwira tinggi Polri dalam kedudukanya sebagai Kepala Divisi Hukum Polri,” katanya.
Lolosnya Remigius Sigid Tri Hardjanto itu membuat LBH Jakarta mengajukan tiga tuntutan sebagai berikut:
- Pemerintah agar tidak melakukan intervensi terhadap Komnas HAM demi kepentingan politik sesaat;
- Panitia Seleksi Calon Anggota Komnas HAM mencoret nama Remigius Sigid Tri Hardjanto dari anggota yang lolos seleksi calon anggota Komnas HAM dan memastikan implementasi Prinsip Paris (Paris Principles) dalam seleksi calon anggota Komnas HAM;
- Polri memastikan Remigius Sigid Tri Hardjanto tidak mengikuti tahapan lebih lanjut seleksi calon anggota Komnas HAM;
LBH Jakarta menilai Remigius Sigid Tri Hardjanto akan mengalami konflik kepentingan jika nantinya terpilih sebagai Anggota Komnas HAM. Pasalnya, Komnas HAM banyak menangani kasus-kasus pelanggaran HAM oleh polisi selama ini.
Menurut mereka, sepanjang 2020 hingga 2021, dari 1.162 kasus kekerasan aparat negara yang ditangani, sebanyak 480 kasus merupakan kasus berkaitan dengan kerja penegakan hukum oleh polisi.
“Pada 2020 dari 641 kasus, 263 kasus berkaitan dengan kerja polisi, sementara 2021 dari 521 yang menyangkut polisi ada 217 kasus. Untuk kasus pelanggaran keadilan pada 2020 ada 186 kasus dan pada 2021 ada 151 kasus,” ujarnya.
Melihat data tersebut, LBH Jakarta menilai polisi merupakan aktor yang paling banyak melanggar HAM. Selain itu, Ombudsman Republik Indonesia telah menerima 1.120 laporan masyarakat terkait hukum, HAM, politik, keamanan, dan pertahanan dengan terlapor lembaga penegak hukum sepanjang 2020.
Kepolisian menempati urutan pertama dengan 699 laporan, 115 laporan di antaranya telah diselesaikan oleh Ombudsman. Sebagian besar laporan polisi terkait dugaan penyimpangan prosedur dan pemberian pelayanan.
“Cukup sudah anggota Polri masuk ke berbagai kementerian-lembaga dengan terakhir berkontribusi sangat besar dalam pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujarnya.
LBH Jakarta menegaskan Komnas HAM sebagai lembaga negara independen harus dijaga dari kepentingan politik praktis dan hegemoni pemerintah. Jika alasannya adalah untuk membenahi institusi kepolisian, tentu saja hal tersebut harus dilakukan di internal Polri sendiri, bukan di Komnas HAM.
Baca: Peringati Hari Lahir Pancasila, Partai Buruh Sindir Soal UU Cipta Kerja