INFO NASIONAL - Pengisian posisi penjabat (Pj.) kepala daerah sehubungan dengan habisnya masa jabatan para kepala daerah, menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak November 2024 dapat dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang sudah ada.
Pengisian jabatan tersebut merupakan kewenangan pemerintah yang dijamin UU dan tidak ada kewajiban membuat peraturan pelaksanaannya, sepanjang proses pengisian tersebut dilaksanakan secara demokratis.
Kesimpulan ini dirangkum dari pendapat Pakar Hukum Tata Negara UKSW Salatiga Umbu Rauta, sehubungan dengan adanya opini yang berkembang seolah-olah pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini karena pelantikan 5 Pj. gubernur baru-baru ini tidak didahului oleh penerbitan peraturan pelaksanaannya.
"Menurut saya, ranah kewenangan pengisian jabatan Pj. kepala daerah ada pada pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat 9, 10, dan 11 UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Umbu Rauta.
Untuk diketahui, Pasal 201 ayat 8 menyebutkan bahwa Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Selanjutnya, Pasal 201 ayat 9 berbunyi bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Kemudian Pasal 201 ayat 10 mengamanatkan: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 201 ayat 11 tertulis bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pakar Hukum Umbu Rauta menegaskan, yang terpenting dalam hal ini adalah pemerintah menjalankan perintah UU yang ditegaskan oleh Pasal 201 UU Pilkada tersebut. "Sejauh Pemerintah menjamin bahwa pengisian Pj. kepala daerah dilakukan dalam mekanisme dan prosedur yang demokratis, transparan, dan akuntabel, maka tidak ada kewajiban khusus dalam UU untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan," kata dia.
Amar putusan MK Nomor 15 Tahun 2022 dengan tegas telah menolak gugatan uji materi atas Pasal 201 tersebut, yang menganggap bahwa penunjukan itu tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai demokratis dalam konteks transisi menjelang Pilkada Serentak.
Namun setelah dilantiknya 5 Pj. gubernur pada Kamis, 12 Mei 2022 lalu, muncul opini beberapa kalangan yang mempersoalkan dasar penunjukan dan pelantikan mereka. Hal tersebut dikaitkan dengan adanya pertimbangan dalam putusan MK Nomor 67 Tahun 2021 yang meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan memberi perhatian terhadap penerbitan peraturan pelaksanaan pengisian jabatan Pj. kepala daerah.
Bunyi pertimbangan dalam putusan MK tersebut menyatakan, "...perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas dalam pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel..."
Pemerintah berpendapat, MK hanya memberikan pertimbangan dan meminta perhatian pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan, bukan memerintahkan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan, MK tidak mewajibkan pemerintah membuat aturan turunan, melainkan meminta pemerintah hanya perlu mempertimbangkan adanya aturan turunan dalam bentuk peraturan.
"Mempertimbangkan, bukan mewajibkan, beda loh. Kalau memerintah mewajibkan, nah itu kami harus buat PP-nya, kalau mempertimbangkan kira-kira boleh Anda buat, boleh Anda tidak buat," kata Mendagri di Istana Wakil Presiden, Kamis, 12 Mei silam.
Selain itu, pernyataan MK terkait aturan turunan tersebut, kata Mendagri, bukan berada di amar putusan, melainkan pertimbangan dan tidak mewajibkan pemerintah membuat aturan turunan atau teknis. "Poin pentingnya, itu bukan di amar putusan tapi di pertimbangan, di pertimbangan pun bahasanya bukan mewajibkan atau memerintahkan," ujarnya.
"Kalau mempertimbangkan itu artinya diskresi dari pemerintah, boleh membuat, boleh juga tidak. Nah, pemerintah beranggapan, aturan-aturan mengenai penunjukan Pj. itu sudah ada, satu di UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pimpinan tinggi madya pimpinan tinggi Pratama untuk gubernur bupati dan wali kota," tutur Mendagri.
Senada dengan Mendagri, Pakar Hukum Umbu Rauta mengatakan putusan MK meminta pemerintah menjalankan Pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016, dengan memperhatikan sejumlah pertimbangan yang ada dalam beberapa putusan MK, tanpa ada kewajiban hukum menerbitkan peraturan pelaksanaan.
"Sejauh Pemerintah menjamin bahwa pengisian jabatan Pj. kepala daerah dilakukan dalam pemaknaan secara demokratis, terbuka dan akuntabel, maka tidak perlu ada kekuatiran untuk menjalankan kewenangan tersebut," kata dia.
Dia menggarisbawahi bahwa amar putusan MK Nomor 15 Tahun 2022 telah menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Sedangkan dalam pertimbangan putusan tersebut pun telah dinyatakan bahwa Pasal 201 ayat 10 dan 11 bersifat transisional menuju kebijakan keserentakan Pilkada Tahun 2024. Ini bermakna bahwa pengisian jabatan kepala daerah dalam masa transisi merupakan kebijakan pembentuk UU.
Umbu Rauta menilai, makna peraturan pelaksana yang disebut dalam pertimbangan MK juga masih dapat diperdebatkan. Bisa jadi yang dimaksudkan adalah Peraturan Pemerintah tetapi dapat pula beleid lain yang sudah ada. "Bisa jadi pemerintah lewat Kemendagri punya beleid internal untuk mendukung dan mempertanggungjawabkan tindakannya," kata dia. (*)