TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga menyebut Mendagri Tito Karnavian tidak akan membatalkan penunjukkan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulteng, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Desakan pembatalan itu dilontarkan sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi yang menolak TNI/Polri aktif menduduki jabatan sipil.
"Bapak Mendagri tidak akan membatalkan. Tak ada alasan membatalkan," ujar Kasto kepada Tempo, Senin, 30 Mei 2022.
Menurut Kasto, tidak ada aturan yang dilanggar dengan penunjukkan perwira TNI tersebut sebagai penjabat kepala daerah. Ia menjelaskan, dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 paragraf 3.13.3 disebut bahwa TNI/Polri dimungkinkan menjabat di kementerian dan lembaga sipil tertentu, yaitu 10 lembaga sipil, yang di dalamnya termasuk BIN, tempat Brigjen Andi Chandra menjabat.
Kedua, ujar dia, MK juga mengatur, sepanjang anggota TNI/Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama, boleh menduduki posisi penjabat kepala daerah. "Atas dasar ini, yang bersangkutan sah memenuhi persyaratan dan tak melanggar ketentuan menjadi penjabat daerah, karena yang bersangkutan menduduki jabatan yang dipersyaratkan pasal 201 UU 10/2022 tentang Pilkada," ujar Kasto.
Pertimbangan lainnya, ujar dia, Andi Chandra dinilai memiliki kompetensi untuk menangani wilayah Kabupaten Seram Barat yang dinilai memiliki potensi konflik horisontal akibat batas wilayah. "Artinya, baik dari sisi regulasi, kompetensi dan kebutuhan riil wilayah, Brigjen Andi Chandra adalah orang yang tepat dan legitimate untuk ditunjuk dan ditugaskan sebagai penjabat Kepala Daerah di Kabupaten Seram Barat," ujar dia.
Sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi sebelumnya mendesak pemerintah mengoreksi penunjukkan TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah, karena khawatir akan netralitas dan juga potensi menghidupkan dwifungsi ABRI seperti era orde baru.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut penunjukkan itu tidak sesuai dengan semangat dan amanat reformasi. "Kalau ini tidak segera dicegah, ini bisa memberikan semacam peluang kepada TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil," kata dia, kemarin.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai penunjukkan Andi menjadi Pj kepala daerah merupakan bentuk dari “Dwifungsi TNI” dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengkhianati profesionalisme TNI. "Terlebih melanggar prinsip demokrasi," ujar Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mewakili koalisi.
Isnur mengingatkan, Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 telah mengatur secara tegas bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa.
Kemudian Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang pada implikasinya bahwa anggota TNI aktif terpisah dari institusi sipil negara. Koalisi menilai bahwa penunjukkan Brigjen TNI Andi Chandra merupakan pelanggaran terhadap Tugas Pokok dan Fungsi TNI sebagaimana diatur dalam UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Kami mendesak pemerintah dalam hal ini melalui Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, untuk membatalkan dan mencabut penunjukan anggota TNI Aktif sebagai Pj Bupati," demikian keterangan resmi koalisi.
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, menilai pengangkatan tentara aktif menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku, muncul karena aturan yang kurang tegas dan ketat. Sebab, pihak yang menolak dan mendukung dinilai memiliki argumentasi legal-politik yang sama-sama kuat.
"Untuk menghentikan polemik terkait, butuh aturan yang ketat dan tegas," kata Muradi dalam keterangannya, Kamis, 26 Mei 2022.
Kemendagri diminta membuat aturan teknis penunjukkan Pj Kepala Daerah seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi demi menjamin berlangsungnya proses yang demokratis sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021.
DEWI NURITA | ANTARA