TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Tim Perumus Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan soal pasal pidana perbuatan cabul sesama jenis. Dia membantah bahwa pasal tersebut memojokkan kelompok Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT).
"Tadi malam kita rame juga nih ya bicara soal LGBT. Karena di RKUHP, kalau kita lihat saat ini, pasal 292, itu memang bicarakan perbuatan cabul, orang yang sama kelamin, tapi yang satu masih di bawah umur," kata dia dalam diskusi Institute for Criminal Justice Reform, Rabu, 25 Mei 2022.
Harkristuti yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia kemudian menjabarkan bunyi pasal perbuatan cabul di RKUHP. Menurut dia, dalam RKUHP menjerat semua pelaku perbuatan cabul, baik itu terhadap yang berbeda jenis kelaminnya maupun yang sama jenis kelaminnya.
Harkristuti menyebut pihaknya gender netral dalam merumuskan pasal ini. "Baik sama kelaminnya, maupun tidak sama. Kalau itu perbuatan cabul, maka dapat dipidana," kata dia.
Harkristuti pun menjelaskan kategori perbuatan cabul dalam RKUHP, yaitu:
1. Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
- di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;
- secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, atau;
- yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
2. Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Dari ketiga bentuk perbuatan cabul tersebut, Harkristuti Harkrisnowo memberi perhatian pada poin ketiga yaitu aksi mempublikasikan sebagai muatan pornografi. "Saya harus lihat juga UU ITE gimana pidananya," kata dia.
Harkristuti menyebut pihaknya tak ingin pasal ini menjadi komoditi oleh aparat penegak hukum di kemudian hari ketika ada pidana yang lebih tinggi dan lebih rendah di dua regulasi yang berbeda.
"Bisa jadi komoditi, wani piro? mau yang mana," kata Harkristuri mengungkapkan kekhawatirannya.
Harkrustuti juga menjelaskan lagi bunyi pasal perbuatan cabul lain di RKUHP, yaitu sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Setiap Orang yang:
a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan, atau tidak berdaya;
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseroang yang diketahui atau patut diduga Anak; atau
c. dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang Anak melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan cabul dengan orang lain.
Dia menjelaskan bahwa rumusan aturan ini mirip dengan Statutory Rape (hubungan seksual dengan anak secara konsensual) dalam tindakan perkosaan. Walaupun si anak tidak mengalami paksaan dalam melakukan hubungan seksual, akan tetapi orang dewasa yang melakukannya bisa tetap dipidana.
Konsep seperti ini, kata Harkrustuti, mirip dengan Statutory Rape yang ada di negara-negara Common Law. Anak-anak dianggap belum bisa mengambil keputusan yang baik dan mereka belum tahu apa yang baik dan yang buruk.
"Harusnya orang dewasa yang membantu memberi keputusan, (bukan) malah mencabuli," kata Harkristuti.
Perdebatan soal LGBT itu juga sempat mewarnai rapat yang membahas RKUHP antara Komisi Hukum DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu kemarin. Harkristuti juga hadir dalam rapat tersebut.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan menyinggung soal LGBT ataupun perbuatan cabul sesama jenis ini yang disebutnya ada di Pasal 469.
“Beberapa hari ini di publik ramai pembahasan tentang LGBT. Meski pidana LGBT dalam naskah RUU KUHP secara lengkap sudah diatur di dalam pasal 469, tapi bukan dengan istilah nama LGBT," kata dia.
Ia lalu meminta Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan secara eksplisit pada Memorie van Toelichting alias Memori Penjelasan, terkait pengaturan tentang hukum pidana khususnya bagi perbuatan cabul yang dilakukan oleh sesama jenis ini. Hinca menilai butuh penjelasan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam pada umumnya demi menghindari kesalahpahaman di publik.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej menjelaskan bahwa pasal tersebut mengatur perbuatan cabul baik oleh sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin. Ia menyebut hukum dalam RKUHP netral terhadap gender.
Lantaran netral gender, Edward menyebut rumusan hukum pidana bagi perbuatan cabul sudah tertuang di RKUHP. Baik itu perbuatan cabul terhadap lawan jenis, maupun terhadap sejenis.
"Tapi kami tidak menyebutkan secara eksplisit," kata dia.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai penggunaan istilah "sesama jenis" dalam RKUHP sama halnya dengan diskriminasi terhadap LGBT. Karena itu, mereka pun meminta agar pasal itu ditinjau ulang.
"Penyebutan secara spesifik sama jenisnya merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya," demikian pernyataan sikap Aliansi.
Mereka juga meminta pemerintah untuk membuka secara transparan draft RKUHP. Pasalnya, menurut mereka, telah terjadi perubahan dalam draf awal yang sempat beredar pada September 2019. Dalam draf awal ini, pencabulan diatur dalam Pasal 420.