TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan peristiwa pelanggaran HAM berat dalam tragedi Trisakti 1998 tak bisa diselesaikan secara nonyudisial. Dia mengatakan kasus itu hanya bisa diselesaikan lewat jalur pengadilan.
“Kalau ada yang bicara mekanisme nonyudisial maka jawabannya tidak bisa,” kata Anam di Bekasi, Kamis, 19 April 2022.
Anam mengatakan cara menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pemerintah, kata dia, harus menjalankan UU tersebut untuk menyelesaikan pelanggaran HAM sebelum maupun sesudah aturan tersebut berlaku. “Tidak ada cara lain,” kata dia.
Anam mengatakan Presiden Joko Widodo juga sempat menyinggung tentang pentingnya menyelesaikan pelanggaran HAM berat sesuai UU. Menurut dia, penyelesaian HAM berat berdasarkan UU tersebut bukan hanya bertujuan memberikan keadilan pada korban. Tetapi juga keadilan pada publik.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat di pengadilan penting untuk memperbaiki tata Kelola negara. Pengadilan bisa mencegah terulangnya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan maupun sipil di masa depan.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM Tragedi Trisakti 1998 lebih baik diselesaikan secara nonyudisial. Penyelesaian nonyudisial terutama akan dipakai untuk menyelesaikan pelanggaran HAM sebelum ada UU Pengadilan HAM atau yang terjadi sebelum tahun 2000. Salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Kasus Trisakti 1998 masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial," kata Moeldoko, Rabu, 15 Mei 2022.
Moeldoko mengatakan penyelesaian yudisial bisa dilakukan untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru atau yang terjadi setelah berlakunya UU Pengadilan HAM.
Baca: Moeldoko: Kasus Trisakti 98 Idealnya Diselesaikan Lewat Non Yudisial